MK Putuskan Sistem Pemilu Tetap Terbuka, Pemilih Tetap Coblos Caleg
Utama

MK Putuskan Sistem Pemilu Tetap Terbuka, Pemilih Tetap Coblos Caleg

MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman. Foto: RES
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi pasal 168 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur tentang sistem pemilihan umum proporsional terbuka. Putusan perkara No.114/PUU-XX/2022 tersebut tetap memakai sistem proporsional terbuka. 

MK tercatat telah menyelenggarakan sebanyak 16 kali persidangan sejak pemeriksaan pendahuluan hingga pemeriksaan persidangan. Persidangan ini sehubungan dengan pemberitaan opini publik di media massa dan media sosial berkenaan dengan perkara dan/atau kemungkinan putusan perkara No.114/PUU-XX/2022, termasuk pernyataan/unggahan/cuitan Denny Indrayana di akun Twitter pribadinya (28/5) lalu, yang menyinggung bahwa MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di gedung MK pada Kamis (15/6).

Baca Juga:

Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak bisa memilih calon anggota secara langsung, adapun pemilih hanya bisa memilih partai politik sehingga partai punya kendali penuh menentukan siapa yang duduk di parlemen.

Hakim MK lainnya, Arief Hidayat menuturkan permasalahan selanjutnya yang berkaitan dengan sistem proporsional mana yang akan diterapkan di dalam sistem pemilu di Indonesia, apakah sistem proporsional tertutup, sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional campuran.

“Untuk menentukan sistem proporsional mana yang tepat untuk bangsa dan negara kita, maka dalam pertimbangan hukum berikutnya akan disampaikan lebih dahulu pembahasan sistem pemilu dari perspektif sosiologis-yuridis,” ucapnya.

Baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, terutama peran partai politik dalam menentukan calon anggota lembaga perwakilan terpilih, aspek keterwakilan dan hubungan emosional dengan pemilih, dan efektivitas serta efisiensi pelaksanaan pemilu.

“Sekilas nampak banyak kelebihan jika kita menggunakan sistem proporsional terbuka dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD, sebab penentuan calon anggota dimaksud didasarkan pada mekanisme suara terbanyak. Hal inilah yang dimuat dalam Putusan MK No.22-24/PUU-VI/2008,” lanjutnya. 

Arief menyatakan, setelah 5 kali menyelenggarakan pemilu, diperlukan evaluasi, perbaikan, dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah 4 kali diterapkan. 

“Peralihan Sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan. Sebab dari perspektif filosofis dan sosiologis, pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh. Karena calon anggota legislatif yang bersaing tanpa etika menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarakat,” kata dia.

Adanya putusan sistem pemilu tetap terbuka, maka pemilih tetap mencoblos calon legislatif. Untuk mencegah pragmatisme caleg atau parpol, MK menilai parpol harus punya mekanisme seperti menggunakan pemilihan pendahuluan atau mekanisme lain untuk bisa digunakan untuk menentukan nomor urut calon.

Berlakunya syarat tersebut tidak hanya didasarkan kepada kesadaran politik, namun apabila suatu waktu ke depan pembentuk UU mengagendakan revisi atas UU No.7 Tahun 2017, persyaratan tersebut dimasukkan dalam salah satu materi perubahan.

Menurut MK, perbaikan dan penyempurnaan dalam pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi, smengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.

“Maka, dalil-dalil para pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU No.7 Tahun 2017, bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Wakil Ketua MK, Saldi Isra.

Sebelumnya, MK menerima permohonan uji materiil terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proposional terbuka yang didaftarkan dengan No.114/PUU-XX

Pembacaan ketetapan no 144/puu-XX/2022 pada November 2022 dengan pemohon yaitu Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi,Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, RIyanto, dan Nono Marijono.

Tags:

Berita Terkait