Munir Fuady: RUPS Harus Setara dengan Direksi dan Komisaris
Terbaru

Munir Fuady: RUPS Harus Setara dengan Direksi dan Komisaris

Pemerintah berencana untuk melakukan revisi terhadap UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Bahkan, draf rancangan revisi UU PT pun telah dibuat oleh tim perumus. Tidak kurang dari nama-nama praktisi hukum kondang seperti Kartini Muljadi dan Fred Tumbuan turut bergabung dalam tim perumus.

Bacaan 2 Menit

Dan satu hal lagi, di manapun di dunia ini, di negara-negara yang hukumnya modern, sudah mencoba membuat fleksibel ketentuan-ketentuan ultra vires. Ultra vires itu sejarahnya ratusan tahun yang lalu memang seperti yang kita buat ini. Tetapi semakin ke sini, semakin fleksibel.

Berdasarkan pengalaman Anda, pernahkah Anda mengalami kendala dalam melaksanakan UU PT, sehingga kadang-kadang Anda juga merasa perlu ada revisi?

Ada, beberapa pasal yang memang perlu penegasan. Itu kita akui, ada beberapa pasal yang selama ini tidak begitu jelas. Kita selama ini terus terang, tidak begitu jelas tentang akuisisi. Kalau dibaca, UU PT tidak begitu jelas tentang akuisisi. Karena, ada ketentuan-ketentuan akuisisi sedemikian panjang.

Tetapi kemudian, ada ketentuan yang mengatakan bahwa ketentuan yang sedemikian panjang itu nggak berlaku kalau akuisisi, misalnya, langsung kepada pemegang saham. Itu membingungkan memang. Nah, itu dijelaskan secara baik di sini.

Ada akuisisi lewat pemegang saham dan ada akuisisi lewat direksi. Maksudnya, akuisisi lewat direksi ini paling tidak dilakukan melalui pengambilan saham - paling tidak saham dalam portepel, bukan dari saham yang sudah beredar di masyarakat. Jadi memang itu dipertegas, walaupun tidak jelas sekali. Tetapi itu semakin jelas dengan masuknya ketentuan yang mengatakan ada akuisisi lewat direksi.

Ada lagi ketentuan-ketentuan lain yang tidak jelas. Misalnya, kalau ada yang tidak setuju untuk akuisisi itu bagaimana. Itu kan dulu nggak jelas bagaimana. Sekarang kan diperjelas dengan munculnya appraisal rights itu.

Selain itu, apa hal-hal yang menurut Anda harus diubah dari UU PT, mungkin benchmark-nya dari praktek Anda selama ini?

Kalau itu misalnya ketidakjelasan tanggung jawab direksi, itu suatu masalah. Direksi itu kan ada tiga atau empat orang. (Apabila) si A salah, C dan D kena atau tidak? Apakah semuanya harus tanggung jawab? Itu memang ada ketidakjelasan dalam UU PT. Tetapi menurut saya hal itu dijawab bukan hanya oleh UU PT itu sendiri, walaupun itu juga harus dicoba diperjelas dalam RUU baru.

Namun kita tidak bisa berbuat total dengan RUU yang baru ini. Itu juga harus terkait dengan hukum-hukum yang lain. Hukum tentang tanggung jawab, hukum tentang perbuatan melawan hukum, yang namanya onrechtmatigedaad.

Itu harus dikembangkan, yang namanya tanggung jawab, strict liability, tanggung jawab atasan, tanggung jawab kolegial. Nah, itu kan tentang tanggung jawab. Tanggung jawab itu kan larinya ke hukum perdata, bukan di UU PT ini tempatnya.

Tentang perbuatan melawan hukum itu dalam pasal 1365 KUHPerdata. Yang namanya 1365 KUHPerdata itu seharusnya bukan hanya satu pasal di situ. Bisa ada 50 pasal di situ yang menjelaskan 1365 itu. Itu yang kita nggak punya.

Jadi kalau kita mau cakup semua dalam UU PT ini, memang tidak bisa. Tanggung jawab direksi A, B, dan C, bagaimana. Teori di sana nggak berkembang dan bergerak. Karena, mereka sudah melanggar hukum kan. Aturan yang ada itu cuma satu, Pasal 1365 itu. Itu yang menyebabkan UU PT juga nggak bisa berbuat banyak.

Jadi apa yang mesti dilakukan?

Pasal 1365 KUHPerdata jelas perlu direvisi. Masa sih cuma satu pasal. Yang namanya perbuatan melanggar hukum, kalau Anda kuliah di luar negeri, untuk itu saja kuliahnya satu semester.

Sekarang kita melihat tanggung jawab direksi perusahaan terkait ke situ juga. Apakah tanggung jawabnya harus ada kesalahan. Kesalahannya apakah dalam bentuk kelalaian. Kelalaiannya, (apakah) kelalaian berat atau kelalaian ringan, sehingga direksi harus bertanggung-jawab.

Dalam UU PT ini, paling kita kembalikan pada fiduciary duty. Nah, fiduciary duty kalau kita lihat, coba bandingkan antara UU PT dan RUU. Tentang fiduciary duty ini juga ada sesuatu yang kontroversial yang coba dibuat oleh RUU PT.

Kontroversialnya itu mungkin juga set back, ya. UU PT secara prinsip, filosofinya adalah direksi itu berbuat dengan sebaik-baiknya untuk perusahaan, bukan untuk pemegang saham atau komisaris. Sehingga kalau dilihat ketentuannya, konsekuensinya antara lain adalah bahwa seorang direksi hanya boleh diberhentikan dengan sebab tertentu. Ada sebab, ada alasan.

Coba lihat RUU, di situ dibilang seorang direksi dapat diberhentikan for cause and no cause. Bisa dengan sebab atau tanpa sebab sama sekali. Jadi kalau mayoritas sudah nggak senang kepada si A, ya sudah lempar saja, ganti dengan yang lain tanpa dicari sebabnya apa.

Tetapi bukankah dalam draf RUU ini RUPS bukan lagi sebagai organ tertinggi seperti dalam UU PT?

Ya, ada ketentuan yang mengarah ke situ. Tetapi di dalam draf itu, juga ada ketentuan yang mengatakan seperti ini bahwa kalau dulu ketentuannya direksi itu hanya bisa diturunkan kalau ada alasan, diganti oleh pemegang saham.

Dalam draf ini sekarang, tidak ada lagi, kata-kata "jika ada alasan" itu sekarang dibuang. Jadi dalam draf, yang berlaku for cause or no cause itu tadi. Nah, ini berbahaya bagi direksi.

Apa hal yang paling prinsip dalam menelaah perubahan UU PT?

Sebenarnya yang paling prinsip itu bagi saya adalah kita harus melihat dulu kekuasaan-kekuasaan dari pemegang saham. Antara RUPS, Direksi, dan Komisaris harus seimbang. Ini harus dijaga.

Seperti tadi saya bilang, jangan sampai pemegang saham mayoritas semena-mena. Jangan sampai pemegang saham minoritas dirugikan. Tetapi juga jangan sampai pemegang saham minoritas ini menjadi tirani minoritas. Nah, ini lebih celaka lagi.

Jangan sampai direksi diganti semena-mena oleh pemegang saham. Artinya, direksinya harus profesional. Sehingga kalau dia profesional, dia nggak bisa diganti oleh pemegang saham.

Jadi saya melihat harus ada keseimbangan. Di satu sisi, dia diminta profesional. Tapi di sisi lain, dia begitu gampang dilempar oleh pemegang saham. Ini justru UU PT lebih bagus dari RUU. Di RUU ini posisinya lebih riskan dari UU PT.

Anda setuju dengan penghapusan ketentuan bahwa PT didirikan atas dasar perjanjian?

Kalau saya bilang, KUHD untuk masalah pemegang saham ini lebih bagus. KUHD bilang bahwa memang waktu didirikan itu harus dua orang. Tetapi ketika telah menjadi badan hukum, satu orang nggak ada masalah. Nggak ada larangan. Tapi dalam UU PT, satu orang dikasih waktu enam bulan. Dia harus cari orang lain kan.

Di mana-mana, teori perjanjian sudah mulai ditinggalkan. Yang banyak sekarang ini adalah teori yag namanya teori institusionalitas. PT itu kan bukan perjanjian, PT itu institusi. Berapapun orang di dalamnya, ya terserah dialah. Bukan perjanjiannya yang dilihat, tetapi institusinya. Jadi sebagai PT, dia punya kekayaan terpisah, dia punya pengurus.

Mengenai komisaris, ada sebagian orang yang merekomendasi untuk menempatkan adanya komisaris independen. Apakah menurut Anda, pasal mengenai komisaris independen harus ada dalam UU PT?

Ya, itu memang suatu ide bagus. Cuma belum tentu praktis. Saya kira praktek yang dilakukan selama ini sudah baik. Artinya kita butuh komisaris independen, idealnya begitu. Tetapi kita juga harus realistislah. Sama halnya juga dengan halnya kita butuh auditor independen. Tapi kita harus realistis apakah semua PT harus pakai itu?

Apakah semua PT harus punya komisaris independen? Kalau PT-PT yang telah mencapai tingkat tertentu, mungkin memang harus. PT publik, PT dengan syarat-syarat tertentu, mungkin harus pakai komisaris independen.

Tapi kalau masih PT-PT keluarga, itu akan terlalu ideal dan tidak praktis. Jadi bisa kita ikuti saja pemakaian komisaris independen hanya untuk PT-PT yang kita anggap relevan, PT-PT yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, PT-PT yang menyangkut kepentingan umum, PT-PT go public yang mengelola keuangan rakyat banyak seperti bank.

Makanya, itu tidak tepat kalau masuk ke UU PT. Kalaupun masuk, harus dibatasi. Hanya untuk PT-PT tertentu saja dengan syarat-syarat. Karena tidak semua PT bisa menjangkau kebutuhan itu. Idealnya memang bagus, tapi nggak praktis.

Masukan apa yang ingin Anda  sampaikan pada tim perumus RUU?

Yang belum diantisipasi oleh pembentuk RUU ini adalah RUU ini belum disesuaikan dengan otonomi daerah.

Konsep dan bentuknya seperti apa?

Artinya jangan semuanya ke Jakarta lah. Jangan semuanya ke Depkeh (Departemen Kehakiman dan HAM-red) sana. Jangan semua daftar perusahaan di Jakarta.

Memangnya selama ini semua harus ke Jakarta, tidak bisa diurus melalui kanwil Depkeh di daerah?

Pengesahannya di sini, bisa lewat kanwil, bisa segala macam. Tetapi yang mengesahkan kan harus menteri. Pengesahannya oleh menteri, perubahan AD sedikit saja laporannya ke menteri, semuanya menteri.

Kalau mengenai pendaftarannya, KUHD lebih bagus karena pendaftaran dilakukan di panitera pengadilan negeri masing-masing. Kalau PT-nya di Irian sana, ya daftarnya ke Irian sana. Nah, sekarang pendaftaran perusahaan yang ada di departemen perdagangan.

Mestinya, kita harus lepas ini. Kita berdayakan kanwil. Jadi cukup misalnya dengan sistem online yang ada, pengesahannya cukup di kanwil sana. Emangnya menteri ini nggak ada pekerjaan lain selain mengesahkan PT.

Jadi pengesahan, pendaftaran, bahkan juga mestinya pengumuman, itu berita daerah apa nggak cukup? Apa memang harus dalam berita negara. Ini saya yakin akan jadi masalah kalau tidak segera diakomodasi.

(Amr/Ari/APr) 

Tags: