Negara Langgar Hak Pilih Buruh Migran Indonesia
Polemik DPT

Negara Langgar Hak Pilih Buruh Migran Indonesia

Polemik DPT yang mengakibatkan hilangnya hak pilih jutaan buruh migran Indonesia bukan hanya persoalan kesalahan administrasi, melainkan bentuk pengabaian negara terhadap hak politik warga negara secara sistematis yang merupakan pelanggaran HAM.

ASh/Sam
Bacaan 2 Menit
Negara Langgar Hak Pilih Buruh Migran Indonesia
Hukumonline

 

Negara

Pemilih di TPS

Pemilih Via Pos

Total Jumlah Pemilih

Jumlah DPT

Malaysia

1.850

45.000

46.850

831.705

Singapura

10.150

9.797

19.947

99.806

Hongkong

151

16.350

16.501

103.931

Penampungan TKI

0

0

0

0

 

Direktur Eksekutif Migran Care Anis Hidayah, menjelaskan data tersebut merupakan hasil pemantauan yang dilakukan sejak Nopember 2008 hingga April 2009. Di Hongkong, Migran Care menerjunkan 5 tim untuk memantau, Malaysia ada 25 tim, Singapura 10 tim, dan di penampungan TKI ada 11 orang, tegasnya.

 

Menurut catatan Migran Care, PPLN di 3 negara itu hanya bersandar pada data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dalam penetapan DPT tanpa mengecek ulang dengan data terbaru dari keimigrasian atau ketenagakerjaan setempat. Akibatnya banyak data yang usang. Buktinya banyak buruh migran yang telah pulang ke Indonesia atau sudah meninggal, tetapi masuk dalam DPT. Sebaliknya, yang masih aktif bekerja justru banyak yang tak terdaftar dalam DPT. 

 

Migran Care juga menemukan banyaknya data ganda dalam DPT, seperti terjadi di Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Di Hongkong, ditemukan ada sekitar 3.850 data pemilih ganda. Begitupun di Malaysia banyak ditemukan calon pemilih menerima 2 kali kiriman surat suara lewat pos. Di Singapura pun demikian, banyak sekali nama ganda dengan ditemukannya 30  sampai 50 nama yang sama, seperi nama Aisah, Anisah, Anita, dll. Akibatnya, dalam beberapa kasus, buruh migran Indonesia mendapat dua surat suara yang keduanya digunakan sekaligus. 

 

Sekitar 10.000 Anak Buah Kapal (ABK) di Singapura pun tak ada yang terdaftar di DPT. Meski saat Pemilu berlangsung ada sekitar 200-an ABK mendatangi KBRI di Singapura, namun mereka tak dapat menggunakan hak pilihnya karena tak terdaftar. Ironisnya, banyak nama laki-laki dalam DPT di Singapura. Namun, faktanya ada sekitar 85.000 pemilih yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga semuanya adalah perempuan.      

 

Migran Care pun menilai PPLN kurang transparan mengumumkan DPT baik di perwakilan KBRI maupun di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan hanya di Malaysia yang mengumumkan dan menempelkan DPT di 2 TPS. Akibatnya, banyak buruh migran Indonesia yang tak mengetahui apakah mereka terdaftar dalam DPT. Buruh migran yang sebenarnya terdaftar dalam DPT sama sekali tidak tahu dirinya telah terdaftar dan bisa menggunakan hak politiknya, termasuk juga di Hongkong yang DPT tak dipublikasikan di website, ungkap Anis.

    

Di beberapa penampungan TKI di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, Migran Care menilai secara keseluruhan mereka pun tak ada yang terdaftar dalam DPT sebagai pemilih. Ada puluhan ribu calon buruh migran di penampungan TKI yang sama sekali tak diakomodasi oleh KPU. Padahal sejak bulan November hingga Januari 2009 kita telah datangi KPU untuk mengingatkan itu. Namun KPU tak melakukan upaya apapun untuk mengakomodasi hak politik mereka, jelasnya.

 

Anis menilai hal ini bukan hanya persoalan kesalahan administrasi, melainkan lebih mengarah pada pengabaian negara terhadap hak politik buruh migran Indonesia secara sistematis. Seolah-olah mereka (buruh migran, red) tak dipandang sebagai warga negara yang punya hak konstitusional untuk memilih seperti warga negara lainnya. Ini mengakibatkan hilangnya jutaan hak politik di berbagai negara, tak hanya tiga negara yang kita pantau, termasuk di kawasan Timur Tengah dan Korea, ujar Anis.  

 

Lebih lanjut Anis mengaku akan menuntut tanggung jawab negara dengan mengadukan secara resmi persoalan ini ke Komnas HAM. Sebab, pengabaian hak politik adalah bagian dari pelanggaran HAM.        

 

Dihubungi terpisah Wakil Ketua Bidang Internal Komnas HAM M. Ridha Saleh menanggapi positif jika Migran Care akan mengadukan temuannya ke Komnas HAM. Pihaknya telah mengumumkan kepada publik untuk menerima pengaduan dari semua lapisan masyarakat. Pasalnya, persoalan DPT merupakan hal yang serius terkait dengan persoalan hak warga negara untuk menentukan pilihannya. Ini merupakan bentuk pelanggaran hak sipil dan politik, tegasnya.

 

Untuk itu, pihaknya tengah melakukan penyelidikan terhadap persoalan ini sebagai tindak lanjut pengaduan yang pernah diterima. Nantinya pengaduan Migran Care merupakan bagian dari itu, ujarnya.

 

Menanggapi munculnya usulan Pemilu khusus, Ridha akan melihat terlebih dahulu bentuk pelanggarannya. Namun, kata Ridha, yang terpenting negara wajib memberikan rehabilitasi terhadap pelanggaran hak sipil politik itu. Nanti bentuk rehabilitasi seperti apa, kita akan lihat, jelasnya.

 

Tak bisa berbuat

Dihubungi terpisah, pihak KPU menegaskan tak bisa berbuat apa-apa jika menyangkut masalah DPT Pemilu legislatif. Apapun kejadiannya, di pusat tidak bisa apa-apa, ujar Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary saat ditemui seusai sholat Jum'at di gedung KPU, Jumat (17/4). 

 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa KPU dalam hal pendataan bukan seperti mendata penduduk yang dilakukan dalam sensus. KPU, tambah Hafiz, hanya menerima data Daftar Potensial Penduduk Pemilih (DP4) dari Departemen Dalam Negeri dan kemudian mencocokkan data yang ada dengan data di lapangan.

 

Lebih jauh Hafiz menjelaskan bahwa pihaknya di pusat dan KPU provinsi hanya bertugas merekap data yang diterima. Kita tidak mendata sampai ke bawah. Karenanya, yang harus diperkuat dalam pendataan pemilihan presiden (pilpres) nanti di tingkat paling bawah (Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, red), ujarnya. Namun Ia menjanjikan bahwa untuk pemutakhiran pilpres nanti pihaknya akan berupaya untuk menampung yang tidak terakomodasi waktu Pemilu legislatif lalu.  Diharapkan juga dukungan dari berbagai pihak, ketika ada yang tertinggal tolong dimasukkan.

Polemik Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pelaksanaan Pemilu legislatif 2009 lalu kembali menuai kritik dan protes. Kali ini datang dari Migran Care, sebuah LSM yang peduli buruh migran Indonesia, yang mengkritik soal DPT dalam pelaksanaan Pemilu di Malaysia, Singapura, Hongkong, dan beberapa penampungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Jakarta yang berakibat hilangnya hak politik sebagian besar warga negara Indonesia. Hal itu terungkap dalam konferensi pers yang diselenggarakan Migran Care, Jumat (17/4), di Jakarta.    

 

Menurut hasil pemantauan Migran Care, dari total buruh migran Indonesia di luar negeri termasuk di Malaysia, Singapura, dan Hongkong jumlahnya sekitar 6,5 juta orang, namun hanya 1,5 juta yang terdaftar dalam DPT. Sementara dari jumlah DPT tersebut hanya 83.495 pemilih buruh migran Indonesia di 3 negara tersebut yang menggunakan hak politiknya atau hanya sekitar 5,8 persen yang tersalur hak politiknya karena tak difasilitasi secara maksimal oleh KPU melalui Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN).                

Halaman Selanjutnya:
Tags: