Nyanyian Hukum Perkawinan Kontemporer
Utama

Nyanyian Hukum Perkawinan Kontemporer

​​​​​​​Jangan anggap remeh persoalan kawin. Dari mulai perencanaan hingga selesainya hubungan perkawinan, ada dampak hukum yang mesti diperhatikan.

Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

“Kapan kawin?” Pertanyaan yang kerap dilontarkan sanak saudara saat libur tiba, seperti lebaran. Sebagian orang bilang pertanyaan itu sepele. Tapi tidak bagi yang lain. Kawin merupakan masalah hidup dan mati. Sebut saja kasus yang terjadi pada Januari 2018 lalu. Kesal gara-gara sering ditanya kapan kawin, seorang pemuda nekat membunuh tetangganya yang tengah hamil. Jadi, jangan anggap remeh persoalan kawin.

 

Perkawinan yang sah juga membutuhkan syarat-syarat persuratan. Sebelum melangsungkan perkawinan, beragam dokumen perlu disiapkan agar syarat-syarat perkawinan berjalan lancar. Formulir N1, N2 dan seterusnya menjadi sebuah wujud yang kerap ditemukan dalam pengurusan untuk menikah. Termasuk mahar, jika ada. Setidaknya, saat ijab kabul di depan mata, urusan surat menyurat dan tetek bengek lainnya bukan lagi menjadi kendala. Kedua mempelai tinggal fokus akad dan pesta.

 

Sebelum dan sesudah pernikahan berlangsung, ada hukum yang harus dipahami calon mempelai. Misalnya, keduanya bisa mengatur perjanjian pranikah (prenuptial agreement) hingga perjanjian setelah menikah (postnuptial agreement). Hal lainnya terkait dengan batas usia perkawinan di Indonesia. Banyaknya muda mudi yang kawin di usia belia, dan bagaimana sanksinya juga menarik untuk dibahas.

 

Memang, soal batas usia perkawinan ini sempat ramai dibicarakan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terus mendorong ditambahnya batas usia perkawinan dalam revisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kementerian PPPA menolak keras perkawinan yang dilakukan masih berusia anak-anak.

 

Revisi UU Perkawinan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2015-2019. Revisi ini diusulkan oleh DPR dan DPD. Namun, Kementerian PPPA mendorong agar revisi UU masuk dalam Prolegnas Prioritas tiap tahunnya. Kementerian PPPA berharap batas usia perkawinan dapat dinaikkan, sehingga tidak ada lagi anak-anak yang masih belia sudah menikah.

 

Tentu saja merevisi UU Perkawinan bukan hanya terkait batas usia pernikahan semata. Tapi lebih dari itu. Kehidupan berumah tangga juga masuk dalam lingkup pembahasan revisi. Berkaca dari pengalaman 44 tahun masyarakat bergelut dengan UU Perkawinan, tentu ada perubahan yang mesti dibenahi.

 

Bahtera rumah tangga yang terkadang surut dan kadang deras juga bermuara pada persoalan hukum. Misalnya, alasan apa saja yang membuat hak asuh anak jatuh kepada sang suami, jika terjadi perceraian. Padahal selama ini hak asuh anak biasanya jatuh kepada sang istri.

 

Lainnya, di daerah perkotaan banyak keluarga yang dipimpin oleh perempuan sebagai kepala keluarga. Padahal UU Perkawinan menganut prinsip suamilah yang menjadi kepala keluarga. Bagaimana mengatasi persoalan nafkah jika terjadi perceraian? Apakah suami tetap harus membayar nafkah? Hal ini semakin menarik untuk diulas.

 

Hal lain yang banyak menarik perhatian adalah mengenai status anak. Jika ada anak lahir di luar hubungan perkawinan, tentu status hukum anak tersebut menarik untuk diulas. Begitu juga status bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran, yang salah satu orang tuanya warga negara asing. Implikasi dari perkawinan campuran ini berkaitan dengan status hukum sang anak semakin menarik untuk diulas. Misalnya, perhitungan waris dan wasiat bagi anak hasil perkawinan campuran.

 

Berkaca dari hal tersebut, Hukumonline mencoba memaparkan peliknya persoalan kawin yang kerap terjadi di masyarakat dewasa ini. Mulai dari persiapan pernikahan, aspek hukum berumah tangga hingga akibat hukum usai terjadinya perceraian. Persoalan-persoalan ini diangkat mengingat setiap masalah yang muncul pasti ada alasan hukum yang mengikutinya.

 

Selamat membaca!!

Tags:

Berita Terkait