Pakar Hukum Pertambangan Ini Kritisi Proses Divestasi Freeport
Berita

Pakar Hukum Pertambangan Ini Kritisi Proses Divestasi Freeport

Ahli hukum sangat berperan mengawasi uji legalitas setiap perizinan kegiatan operasi PTFI untuk mengetahui apakah operasi PTFI berlangsung sesuai regulasi yang berlaku.

M. Januar RIzki
Bacaan 2 Menit

 

Berly juga meragukan kemampuan permodalan PT Inalum sebagai pemegang saham mayoritas. Selain kabarnya sulit mencari dana untuk membeli saham PTFI tersebut, Inalum juga harus mencari pendanaan untuk pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang atau smelter yang saat ini masih mandek.

 

“Saat ini jumlah kas Inalum secara konsolidasi pada 2017 cukup berat untuk membeli harga akuisisi saham PTFI sebesar Rp 54 triliun,” kata Berly. Bahkan, dia menilai Inalum nantinya hanya berperan sebagai pemegang saham saja, tapi tidak berkuasa penuh atas aktivitas operasional PTFI.

 

Sementara itu, dalam acara ini juga mengundang ahli pertambangan, Disan Budi Santoso yang menilai kegiatan operasi PTFI di Papua tidak berdampak signifikan terhadap pembangunan daerah sekitar. Menurut Budi, perusahaan tambang memiliki kewajiban memajukan sumber daya manusia di wilayah kerjanya.

 

Budi melanjutkan daerah Kabupaten Mimika, lokasi pertambangan PTFI, masih sangat bergantung pendapatan daerahnya melalui perusahaan tersebut. Padahal, seharusnya, terjadi pemerataan sumber pendapatan daerah di Kabupaten Mimika.

 

“Produk regional brutonya 91 persen dari PTFI. Masa, hampir 50 tahun kok Timika enggak berubah porsi produk regional brutonya. Ini menandakan tidak ada pembangunan di daerah itu,” kata Budi.

 

Budi menyarankan setelah pemerintah benar-benar memiliki saham mayoritas PTFI, salah satu fokus yang harus didorong adalah terciptanya pembangunan di daerah sekitar wilayah kerja tambang PTFI.

Tags:

Berita Terkait