Paralegal, Solusi Mengatasi Ketimpangan Sebaran Organisasi Bantuan Hukum
Berita

Paralegal, Solusi Mengatasi Ketimpangan Sebaran Organisasi Bantuan Hukum

Secara umum, 1 PBH melayani sekitar 47.309 warga miskin.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, R. Benny Riyanto (menghadap kamera), menyampaikan pandangan dalam konsultasi publik dua rancangan Permenkumham di Surabaya, Selasa (25/2). Foto: MYS
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, R. Benny Riyanto (menghadap kamera), menyampaikan pandangan dalam konsultasi publik dua rancangan Permenkumham di Surabaya, Selasa (25/2). Foto: MYS

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM membuka kembali ruang bagi publik untuk memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Menteri mengenai paralegal dalam pemberian bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum sebenarnya dapat diberikan oleh advokat berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Sebagai wujud tanggung jawab negara, diberikan sarana lain untuk memberikan bantuan hukum, yakni melalui organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH). Pemerintah melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap PBH sekali dalam tiga tahun. Negara menyediakan dana dalam APBN yang disalurkan melalui PBH terakreditasi di semua wilayah Indonesia. Pemberian bantuan hukum melalui PBH ini diatur dalam UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Penjelasan Umum UU No. 16 Tahun 2011 menyebutkan selama ini pemberian bantuan hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan mengakses keadilan. Padahal hak atas bantuan hukum telah dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), dan sudah diratifikasi Indonesia lewat UU No. 12 Tahun 2005.

Meskipun sudah terbuka ruang untuk pemberian bantuan hukum pro bono oleh advokat dan pemberian dana APBN melalui PBH, faktanya akses terhadap keadilan belum merata di seluruh Indonesia. Warga miskin di banyak daerah belum tersentuh layanan bantuan hukum cuma-cuma. Penyebabnya, sebaran PBH belum merata di seluruh Indonesia, masih lebih banyak berbasis di perkotaan.

Penelusuran hukumonline terhadap 524 PBH yang terakreditas, mayoritas PBH ada di Pulau Jawa. Empat provinsi teratas jumlah PBH terbanyak adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Satu-satunya provinsi yang belum memiliki PBH terakreditasi adalah provinsi termuda, Kalimantan Utara. Masalahnya, warga miskin ditemukan di semua provinsi Indonesia. Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan jumlah orang miskin hingga September 2019 adalah 24,79 juta jiwa. Jika dibagi dengan 524 PBH terakreditasi, maka satu PBH melayani 47.309 warga miskin.

(Baca juga: Begini Sebaran Organisasi Pemberi Bantuan Hukum di Indonesia 2019-2021).

Memang, tidak semua orang miskin memiliki masalah hukum, dan tidak setiap masalah hukum disampaikan ke PBH. Tetapi hak-hak hukum mereka dalam bernegara tetap harus dipenuhi. Bukan hanya warga miskin, tetapi juga warga yang masuk kelompok rentan ketika berhadapan dengan hukum.

Upaya memperkuat pemberian bantuan hukum itu yang muncul dalam konsultasi publik dua rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM di Surabaya, Selasa (25/2). Pertama, Rancangan Peraturan Menteri tentang Standar Layanan Bantuan Hukum. Kedua, Rancangan Peraturan Menteri tentang Perubahan Permenkumham No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum.

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, R. Benny Riyanto, mengatakan lewat bantuan hukum probono, negara hadir untuk membantu masyarakat yang tidak mampu. Faktanya, tidak semua orang mampu membayar pengacara atau advokat ketika mereka menghadapi masalah hukum. “Kalau yang mampu tidak ada masalah,” ujarnya saat memberikan sambutan pada konsultasi publik tersebut.

Hukumonline.com

Benny kembali menyinggung realitas belum mencukupinya jumlah advokat beserta persebarannya. Advokat menumpuk di kawasan perkotaan sehingga warga miskin yang jauh dari akses kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Selain itu, belum semua advokat menjalankan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Itu sebabnya ada bantuan hukum yang diberikan melalui PBH, dan pelaksana di lapangan dapat dilakukan oleh mereka yang disebut paralegal.

(Baca juga: Perlu Ada Insentif untuk Membudayakan Pro Bono Advokat).

Persoalannya, ada advokat yang keberatan atas Permenkumham No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Mereka mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Tahun lalu, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan tersebut dan membatalkan Pasal 11 dan 12 Permenkumham tersebut.

Ini bukan konsultasi publik pertama yang dilaksanakan BPHN terkait kedua rancangan. Pada 11 Februari lalu, perhelatan serupa dilaksanakan di Semarang. BPHN mengundang para pemangku kepentingan untuk memberikan masukan. Benny mengatakan pihaknya selalu terbuka menerima masukan karena tujuannya adalah memperkuat basis pemberian bantuan hukum kepada warga miskin di Indonesia. “Hal ini dilakukan dengan harapan akan semakin meningkatkan peran dan kualitas dalam pemberian bantuan hukum,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait