Pasal-Pasal yang Dikritik DPR dalam Perppu 1/2017
Utama

Pasal-Pasal yang Dikritik DPR dalam Perppu 1/2017

Namun, seluruh fraksi Komisi XI DPR RI sepakat membawa Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk kepentingan Perpajakan untuk dibahas lebih lanjut.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Suasana Raker Komisi XI DPR dan Menkeu, Senin (17/7). Foto NNP
Suasana Raker Komisi XI DPR dan Menkeu, Senin (17/7). Foto NNP
Seluruh fraksi pada Komisi XI DPR sepakat membahas lebih lanjut Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk kepentingan Perpajakan. Paling lambat Senin (24/7) pekan depan, Komisi XI DPR dijadwalkan mengambil sikap apakah menerima atau menolak Perppu tersebut.

Ketua Komisi XI DPR RI Melchias Markus Mekeng mengatakan, sebelum menentukan sikap menerima atau menolak RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2017, Komisi XI DPR RI sebelumnya akan meminta masukan dari sejumlah pakar dan keterangan tertulis dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan terkait sejumlah pertanyaan yang dilontarkan sejumlah fraksi dalam Rapat Kerja antara Komisi XI DPR bersama Pemerintah pada Senin (17/7) hari ini.

“Kita besok dengarkan pendapat dari pakar. Ada pak Boediono mantan Wakil Presiden, Hadi Poernomo mantan Dirjen Pajak (periode 2001-2006, red), serta dari asosiasi dan pelaku pasar,” kata Mekeng kepada hukumonline usai Raker dengan Kemenkeu Senin (17/7).

Rencananya, selain mengundang mantan Wapres era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009 sampai 2014, Komsi XI DPR RI juga mengundang sejumlah akademisi dari Tax Center UI, UGM, dan UNAIR. Lalu, pakar lainnya yang turut diundang antara lain pakar ekonomi Chatib Basri dan mantan Dirut Bank CIMB Niaga Arwin Rasyid.

Siang harinya, Komisi XI DPR juga meminta masukan dan usulan dari sejumlah asosiasi seperti KADIN, Apindo, Perbanas, Dewan Asuransi, Bursa Efek Indonesia (BEI), Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia, Asosiasi Pengelolaan Reksa Dana Indonesia, Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan Asosiasi Dana Pensiun. Dikatakan Mekeng, dari masukan tersebut baru kemudian masing-masing fraksi menentukan sikap yang nantinya disampaikan pada agenda Raker terakhir sebelum masa reses.

“Setelah itu digelar paripurna setelah tanggal 24 Juli 2017. (Lalu) tulis surat ke pimpinan DPR agar diagendakan di Bamus DPR,” kata Mekeng. (Baca Juga: Tindaklanjuti Perppu 1/2017, Presiden Minta Dibangun Sistem Informasi Pajak yang Andal)

Mekeng menambahkan, masing-masing fraksi diharapkan memberikan catatan berdasarkan data serta pandangan dari sejumlah pakar dan asosiasi yang diundang saat raker. Nantinya, catatan tersebut dapat dipakai untuk memberikan masukan dalam hal nantinya disepakati amandemen RUU Penetapan Tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2017 setelah menjadi undang-undang (UU) ataupun masukan dalam revisi UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU KUP).

“Karena sudah diproses sejak 2011, kita sudah commit mau masuk ke AEoI (Automatic Exchange of Information atau pertuakaran infromasi keuangan terakait perpajakan secara otomatis). Itu menurut hemat saya adalah hal yang baik. Target kita bisa segera selesai, sehingga kita bisa masuk ke AEoI,” kata Mekeng.

Berdasarkan pantauan Hukumonline, sejumlah anggota Komisi XI DPR memberikan catatan serta kritik terkait substansi Perppu Nomor 1 Tahun 2017. Anggota fraksi PDI Perjuangan, Andreas Eddy Sustetyo, misalnya mempertanyakan kenapa substansi Perppu juga ikut membuka informasi keuangan wajib pajak domestik. Padahal sudah jelas, kegentingan yang dipaparkan pemerintah selama ini dalam rangka era pertukaran informasi keuangan terkait perpajakan secara otomatis (AEoI).

(Baca Juga: DPR Pertanyakan “Ihwal Kegentingan Memaksa” Terbitnya Perppu 1/2017)

Hal senada juga dilontarkan anggota Komisi XI fraksi Golkar Muhammad Sarmuji. Meskipun pertukaran informasi dalam AEoI menyangkut wajib pajak Indonesia yang ada di luar negeri atau sebaliknya, ia khawatir Ditjen Pajak juga turut mengejar wajib pajak domestik karena lantaran Perppu membuka ruang untuk itu. Padahal, menurut anggota Komisi XI DPR fraksi Gerindra, Kardaya Warnika, seharusnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 dapat memberikan kepastian setidaknya soal keamanan dan kenyaman bagi wajib pajak yang taruh uangnya di lembaga jasa keuangan atau entitas lain di Indonesia.

“Perppu ini judulnya akses informasi keuangan. Harusnya ‘kuncinya’ di informasi keuangan. Tetapi Pasal 2 ayat (3) Perppu 1/2017 (terkait saldo atau nilai rekening keuangan) ini memuat semuanya, ini seperti ‘pasal karet’,” kata Kardaya.

Menanggapi itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menampik, Pasal 2 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2017 merupakan pasal karet. Kata Ani -sapaan akrab Sri Mulyani-, pasal tersebut harus dibaca utuh dari ayat pertama hingga ayat delapan sehingga terlihat jelas bahwa pemerintah berupaya menjabarkan mandat perjanjian internasional terkait AEoI. Bahkan, Ani menjamin bahwa dengan adanya Pasal 2 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2017, wajib pajak semakin terlindungi karena informasi keuangan yang dibuka terbatas pada lima poin dalam ayat tersebut.

“Ini bukan pasal karet,” kata Ani menegaskan. (Baca Juga: Tak Ada Jaminan Data Keuangan yang Dibuka DJP Tak Bakal Disalahgunakan)

Tak puas dengan penjelasan itu, Andreas menuturkan bahwa yang lebih tepat disebut pasal karet justru substansi Pasal 2 ayat (2) huruf b apalagi jika dikaitkan dengan substansi Pasal 4 Perppu Nomor 1 Tahun 2017. Penafsiran Andreas, dua pasal tersebut bila dibaca menjadi: “lembaga jasa keuangan atau entitas lain wajib menyampaikan laporan dan memberikan laporan informasi keuangan kepada Ditjen Pajak atau sepanjang diminta Ditjen Pajak untuk kepentingan AEoI ataupun kepentingan pajak dalam negeri”. 

“Kami baca dengan hati-hati, jadi Pasal 2 ayat (2) huruf b dikaitkan Pasal 4 Perppu 1/2017 ternyata tidak hanya terkait AEoI saja,” kata Andreas.

Selain itu, anggota Komisi XI DPR lainnya seperti dari fraksi Demokrat, Rooslynda Marpaung juga mempertanyakan sejauh mana jaminan kerahasiaan informasi keuangan yang diakses oleh petugas pajak dalam pertukaran AEoI maupun kepentingan perpajakan domestik. Menurutnya, bisa saja ada penyalahgunaan informasi apalagi dalam Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2017 memberi semacam ‘imunitas’ buat para pejabat di Kemenkeu, OJK, dan lembaga jasa keuangan termasuk para pegawainya.

Sependapat dengan Rooslynda, Andreas mengatakan soal imunitas  menjadi perdebatan ketika dulu membahas peraturan terkait amnesti pajak. Sewaktu itu, jalan keluar disepakati akhirnya petugas pajak diancam sanksi berat melebihi sanksi dalam UU KUP. Sayangnya, kenapa kewenangan besar Ditjen Pajak dalam AEoI justru sanksinya mengacu ke Pasal 41 UU KUP. Sementara, Anggota Komisi XI DPR fraksi PDI Perjuangan I Gusti Agung Rai Wirajaya mengatakan terkadang instruksi pusat ke wilayah sudah jelas hanya saja dalam tataran implementasi, ada peluang Kantor Wilayah atau Kantor Pajak Pratama mencari-cari kesalahan wajib pajak yang sudah lapor namun laporannya masih terdapat kekurangan.

“Saya khawaitr yang dikejar malah WP domestik dan orang itu sudah patuh hanya yang kurang-kurang sedikit,” kata Agung Rai.

Masih dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi XI dari fraksi Golkar Misbakhun, mengingatkan bahwa pemerintah mesti konsisten dalam membuat aturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK), karena jangan sampai mengatur suatu hal tetapi substansi pokoknya tidak tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2017. Mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan pelaksana tidak boleh melebihi subtansi dalam peraturan induk.

“Saya khawatir ini akan di JR (uji/judicial review),” kata Misbakhun singkat.
Sikap 10 Fraksi di Komisi XI DPR Terkait Perppu Nomor 1 Tahun 2017
PDI PerjuanganSepakat membahas Perppu Nomor 1 Tahun 2017 lebih lanjut sesuai dengan UU MD3
Golongan KaryaSetelah mendengarkan paparan Menkeu, kita bisa tangkap urgensi Perppu Nomor 1 Tahun 2017. Fraksi Golkar sepakat dibahas pada tahapan selanjutnya.
GerindraKarena secara mayoritas siap membahas dan minta penjelasan lebih lanjut, kita juga ikut. Tapi kami mau meluruskan karena kewenangan kita hanya menerima atau menolak, maka kita hanya dengarkan keterangan pemerintah lebih lanjut.
DemokratSetelah dengar penjelasan, kami Demokrat sepakat untuk dibahas sesuai dengan mekanisme
PANKami sambut baik upaya pemerintah meningkatkan basis pajak. Tetapi ini perlu penjelasan dari berbagai pihak karena opini yang beredar di pasar sangat variatif
PKBPKB setuju dilanjutkan pembahasan
PKSLanjut (singkat)
PPPSecara prinsip, setuju bahas lebih lanjut
Nasional DemokratKalau fraksi mayoritas berkehendak dalami Perppu 1 Tahun 2017, Nasdem menyesuaikan. Lanjut.
HanuraSetelah dipanggil tiga kali oleh Ketua Komisi XI DPR RI, akhirnya dianggap setuju dengan mayoritas fraksi.
Sumber: Pantauan Hukumonline

Sayangnya, pertanyaan dan kritikan tersebut tak bisa ditanggapi satu persatu oleh Menkeu Ani. Selain karena terbatasnya agenda rapat dan banyaknya catatan yang dilontarkan, Ani pada intinya menjelaskan bahwa pemerintah sangat terbuka dengan semua masukan yang disampaikan. Bahkan terkait penyusunan PMK sebagaimana disinggung, pihaknya sepakat menyusun aturan tersebut dengan berkonsultasi sebelumnya dengan Komisi XI DPR RI. Sebelum menutup raker, Ketua Komisi XI DPR RI meminta pemerintah agar memberikan jawaban secara tertulis paling lambat pada Rabu (19/7) mendatang.

“Dari 10 fraksi, 9 diantaranya setuju membahas lebih lanjut kecuali Hanura tetapi dianggap setuju,” kata Mekeng menutup raker.
Tags:

Berita Terkait