Pasca Ancaman Newmont, Pemerintah Yakin Tak Ada Revisi RKAB
Berita

Pasca Ancaman Newmont, Pemerintah Yakin Tak Ada Revisi RKAB

Pemerintah diminta tegas dan tidak boleh berubah akibat tekanan pengusaha.

KAR
Bacaan 2 Menit
Pasca Ancaman Newmont, Pemerintah Yakin Tak Ada Revisi RKAB
Hukumonline
Pemerintah yakin PT Newmont Nusa Tenggara tak perlu merevisi Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB)-nya. Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), R.Sukyhar, Kamis (8/5).

Sukhyar mengatakan, jika nanti keran ekspor konsentrat kembali dibuka maka Newmont bisa mengejar produksinya. “Bila keran ekspor konsentrat kembali dibuka, PT Newmont akan mampu mengejar produksi dan tak perlu ada revisi pada RKAB yang sudah diajukan,” tuturnya.

Sukhyar mengingatkan, saat ini memang masa vakum bagi Newmont. Sebab, perusahaan asal Amerika Serikat itu masih menunggu Surat Persetujuan Ekspor (SPE) yang sedang dibahas pemerintah. Oleh karena itu, ia tak segera menyimpulkan bahwa Newmont akan benar-benar mengubah RKAB-nya.

Sukhyar mengungkapkan, untuk menerbitkan SPE pemerintah harus terlebih dahulu melakukan evaluasi terkait kemajuan pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan konsentrat. Ia mempercayakan hasil evaluasi pada tim yang ia bentuk sebelumnya. Ia bilang tim itu sudah mulai berjalan. Kendati demikian, ia tak tahu kapan batas akhir tim itu selesai melakukan evaluasi.

“SPE segeralah terbit. Semua itu kan ingin ada akuntabilitasnya. Artinya tingkat kemajuan smelter mesti dievaluasi tapi tentu bukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM saja,” tambahnya.

Sebelumnya, Newmont menyatakan rencananya untuk mengurangi kegiatan operasi tambang. Newmont akan menentukan keputusan mengenai hal itu pada awal Juni mendatang. Bila proses izin ekspor tak kunjung membuahkan hasil, maka perusahaan terpaksa akan mengambil langkah itu.

Presiden Direktur Newmont, Martiono Hadianto, dalam keterangan tertulisnya menyampaikan bahwa pihaknya terpaksa melakukan hal itu. Ia mengungkapkan, pengurangan produksi harus dilakukan karena fasilitas penyimpanan yang dimiliki perusahaan sudah penuh, sementara perusahaan tidak dapat melakukan ekspor. Sebab, sejak awal tahun ini perusahaannya tak melakukan ekspor sama sekali.

“Sejak diberlakukannya larangan ekspor pada 12 Januari lalu, praktis kami tidak melakukan ekspor sama sekali. Sementara, fasilitas penyimpanan konsentrat tembaga yang dimiliki perusahaan akan penuh akhir Mei ini,” katanya.

Menurut Martiono, bila stok yang ada tak segera bisa dikeluarkan untuk ekspor, maka perusahaan terpaksa mengurangi kegiatan operasi produksi secara bertahap. Kemudian, setelah fasilitas penyimpanan di lokasi tambang penuh, maka Newmont pun akan memasuki tahap penghentian operasi penambangan dan pemrosesan.

Di sisi lain, Newmont telah mengurus izin ekspor. Bulan lalu, Newmont baru saja  mengantongi status eksportir terdaftar (ET) dari Kementerian Perdagangan. Status itu merupakan prasyarat utama dari perizinan tersebut. Namun masalahnya, hingga saat ini Surat Persetujuan Ekspor (SPE) Newmont belum turun sehingga perusahaan belum dapat melakukan ekspor.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR, Dito Gainduto meminta agar pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor secara konsisten. Menurut  Dito, pemerintah harus konsisten melaksanakan amanat UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang telah dibuat pemerintah sendiri dan juga DPR. Dengan demikian, ia menilai seharusnya pemerintah tak boleh berubah pendapat.

"Pemerintah harus tegas dan tidak boleh berubah pendapat sedikit pun, karena tekanan atau diancam pengusaha," kata Dito.

Dirinya juga mengingatkan, kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah telah dilakukan oleh beberapa negara lain. Ia melihat, implementasi di negera-negara yang mengambil kebijakan itu bisa konsisten diterapkan sejak lama. Dito pun mempertanyakan, mengapa Indonesia masih belum mampu tegas melaksanakannya.

“Negara lain melarang ekspor bahan mentah tambang dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negaranya sendiri, dan sudah lama diterapkan. Jadi, kenapa kita tidak seperti itu. Ini menjadi  pertanyaan," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait