Pasca Putusan MK, Konsumen Diminta Hormati Isi Perjanjian Fidusia
Terbaru

Pasca Putusan MK, Konsumen Diminta Hormati Isi Perjanjian Fidusia

Jika menyadari telah melakukan cidera janji konsumen harus menyerahkan barang secara sukarela kepada perusahaan leasing.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E. Halim. Foto: RES
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E. Halim. Foto: RES

Permohonan judicial review terhadap Pasal 15 ayat (2) UU No 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) yang diajukan oleh Joshua Michael Djami, ditolak oleh Mahkamah Konstitusi MK). Pasal itu menyebutkan “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Joshua merupakan karyawan perusahaan finance dengan jabatan Kolektor Internal yang telah memiliki sertifikasi profesi di bidang penagihan.

Menurut pemohon, ketentuan eksekusi jaminan fidusia memberi celah bagi debitur untuk mengulur waktu melarikan barang jaminan fidusia, sehingga memberi ruang terjadinya kejahatan. Selain itu, berlakunya pasal itu saat ini telah menghancurkan lahan profesi (collector dan financing) yang legal dan diakui MK sendiri dalam Putusan MK No. 19/PUU-XVIII/2020. Hal ini mengakibatkan hilangnya pendapatan dan penghidupan yang layak bagi pemohon.

Dalam putusan MK bernomor 2/PUU-XIX/2021 disebutkan bahwa pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri hanya alternatif. Eksekusi tersebut dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur, baik adanya wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Sehingga, bila debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan (dengan mudah) oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri (secara sukarela).

Dalam kesimpulannya MK menyatakan permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Bagi MK, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda untuk mengubah pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. (Baca: Respons Asosiasi Pembiayaan Pasca-Putusan MK Soal Eksekusi Jaminan Fidusia)  

Mahkamah menilai pemohon tidak memahami secara utuh substansi Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 mengenai kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan atas kekuasaan sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri pada dasarnya telah memberi keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi.

Putusan MK tersebut mendapat apresiasi dari Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E. Halim. Saat dihubungi oleh Hukumonline pada Jumat (10/9), Rizal menyebut putusan MK terkait eksekusi jaminan fidusia tersebut sudahh tepat. “Bagus donk putusannya kalau begitu,” kata Rizal.

Menurut Rizal, perusahaan leasing tidak boleh semena-mena melakukan penarikan barang yang menjadi obyek fidusia. Penyerahan obyek fidusia harus dilakukan secara sukarela oleh konsumen. Jika konsumen menunjukkan itikad tidak baik untuk mengembalikan obyek fidusia secara sukarela padahal sudah melanggar perjanjian, maka perusahaan leasing bisa melibatkan pihak kepolisian.

Dalam konteks ini, perusahaan leasing harus mengikuti aturan jika ingin melakukan penarikan terhadap obyek fidusia. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia No 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Ekseskusi Jaminan Fidusia, perusahaan leasing yang ingin melakukan penarikan barang bisa mengajukan permohonan pengamanan kepada pihak kepolisian.

Dalam Pasal 6 Perkap 8/2011 disebutkan bahwa “Pengamanan terhadap objek jaminan fidusia dapat  dengan persyaratan: a. ada permintaan dari pemohon; b. memiliki akta jaminan fidusia; c. jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia; d. memiliki sertifikat jaminan fidusia; dan e. jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia.”

“Sudah ada Perkap No 8 Tahun 2011 yang lalu. Setidaknya saat eksekusi didampingi oleh polisi tidak boleh menarik sendiri, pun juga harus ada kesepakatan antara debitur dan kreditur, itu bagus. Kalaupun sukarela sifatnya tetap mengikuti mekanisme yang sudah diatur dalam Perkap 8/2011. Enggak boleh leasing narik sendiri. Soal itikad tidak baik, silahkan ditarik sesuai perkap ditemani leasing yang bersangkutan didampingi polisi, itu boleh. Yang enggak boleh itu kalau debt collector tarik sendiri,” jelasnya.

Sementara itu advokat Ferdian Sutanto menilai bahwa putusan MK No 2/PUU-XIX/2021   merupakan penegasan atas putusan MK 18/PUU-XVII/2019. Kedua putusan sama-sama menegaskan bahwa eksekusi obyek jaminan bisa dilakukan oleh leasing jika konsumen mengakui adanya wanprestasi. Artinya eksekusi obyek jaminan fidusia bisa dilakukan langsung oleh pihak leasing jika tertulis didalam perjanjian kedua belah pihak terkait wanprestasi, disepakati dan dilakukan secara sukarela.

“Nasabah wajib mengakui adanya wanprestasi dan sukarela. Putusan MK ini sebenarnya penegasan dari putusan MK di tahun 2019 lalu,” kata Ferdi dalam pernyataan tertulis, Kamis (9/9).

Jika nasabah melakukan wanprestasi dan menolak untuk menyerahkan obyek jaminan fidusia kepada pihak leasing, maka putusan pengadilan negeri menjadi syarat untuk melakukan eksekusi. Untuk itu Ferdi mengingatkan konsumen perusahaan leasing untuk fair dan menghormati perjanjian. Jika menyadari telah melakukan cidera janji konsumen harus menyerahkan barang secara sukarela kepada perusahaan leasing.

“Putusan MK ini sudah tepat. Kendala di leasing itu ada di oknum yang nakal. Si nasabah harus fair, kalau sudah mneyetujui perjanjian ya harus dilaksanakan. Norma yang ada di pasal 15 ayat (2) itu yang coba ditafsirkan oleh MK,” pungkasnya.

Namun perlu diketahui Perkap 8/2011 berlaku sebagai bantuan pengamanan untuk eksekusi jaminan fidusia yang sudah mendapatkan putusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana tercantum dalam pertimbangan Perkap 8/2011; “b. bahwa sebagai alat negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan bantuan pengamanan pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi jaminan Fidusia, kegiatan instansi lain, dan kegiatan masyarakat; c. bahwa eksekusi Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan hukum mengikat yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga memerlukan pengamanan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Tags:

Berita Terkait