Pelaksanaan Perpres RANHAM Harus Fokus Wujudkan Janji Nawacita
Berita

Pelaksanaan Perpres RANHAM Harus Fokus Wujudkan Janji Nawacita

Tahun terakhir Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) periode 2015-2019, Presiden Joko Widodo perlu turun langsung mengawasi jalannya Aksi HAM 2018-2019.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Mugi, Perpres RANHAM ini hanya fokus pada kewajiban pemerintah untuk memajukan HAM. Tanggung jawab penting lainnya seperti perlindungan dan pemenuhan HAM masih kurang diperhatikan. Padahal kewajiban itu sangat penting karena pelanggaran HAM terus terjadi di berbagai daerah dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas.

 

Infid berharap Presiden Joko Widodo turun langsung mengawasi jalannya Aksi HAM 2018-2019 untuk memastikan pelaksanaannya tidak sekadar normatif dan prosedural, tapi lebih substantif. “Untuk mencapai tujuan dan cita-cita serta janji Nawacita. Hanya dengan cara demikian Presiden Jokowi bisa dianggap sebagai Presiden yang amanah, sehingga tetap mendapatkan dukungan dari masyarakat,” ujar Mugi.

 

Terpisah, kalangan serikat buruh juga mengingatkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk memenuhi berbagai janji politik yang diusung sewaktu kampanye. Misalnya menciptakan 10 juta lapangan kerja baru dan Tri Layak (kerja layak, upah layak, dan hidup layak). Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, menilai berbagai janji itu belum dipenuhi, malah ada kebijakan yang dirasa merugikan buruh.

 

(Baca juga: Kota Peduli HAM Sesuai Rencana Aksi Pemerintah)

 

Gerakan Nasional Non tunai (GNNT) yang digulirkan Bank Indonesia sejak 2014 menyebabkan penerapan sistem pembayaran non tunai di gardu tol seluruh Indonesia. Dampaknya buruh yang bekerja di gerbang tol harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Kemudian berdampak pada buruh yang bekerja di sektor lain seperti perbankan, retail dan otomotif. Kebijakan itu menunjukan pemerintah lebih peduli kepentingan bisnis daripada menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi warganya.

 

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga dinilai merugikan buruh. Mirah mengatakan beleid itu bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena menghilangkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) dalam proses menentukan upah minimum. “Upah minimum hanya ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa melalui mekanisme perundingan di Dewan Pengupahan,” katanya.

 

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri menurut Mirah berpotensi melegitimasi eksploitasi SDM. Regulasi itu memberi hak kepada pengusaha untuk mempekerjakan tenaga magang sampai 30 persen dari jumlah pekerja di perusahaan dalam jangka waktu paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang lebih dari setahun. Peserta magang tidak mendapat upah, tapi uang saku.

 

Ditambah lagi persoalan penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Mirah mengatakan melalui Permenaker No. 16 Tahun 2015 pemerintah menghapus kewajiban berbahasa Indonesia bagi TKA. Ini menyebabkan pekerja kasar dari luar negeri, terutama China banyak masuk ke Indonesia. Kemudian Permenaker No. 35 Tahun 2015, menghilangkan syarat rasio 1:10 bagi pemberi kerja TKA. Padahal aturan itu mewajibkan pemberi kerja yang merekrut 1 TKA minimal harus mempekerjakan 10 orang tenaga kerja lokal.

Tags:

Berita Terkait