Pelaksanaan Teori Kausal dan Teori Abstrak
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Teori Kausal dan Teori Abstrak

​​​​​​​Merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas tentang konsekuensi Teori Kausal dan Teori Abstrak.

RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Terkait Teori Kausal atau Teori Abstrak, Pengadilan mengikuti pendapat yang mana? Sayangnya, Penulis tidak punya data Pengadilan di Indonesia menganut teori yang mana. Kiranya masalah ini baik untuk diteliti lebih jauh.

 

Dalam doktrin disebutkan, bahwa ada banyak sarjana yang setuju dengan Teori Kausal. Menjadi pertanyaan, apa dasar yang membenarkan Teori Kausal?

 

Teori Kausal mendasarkan pada beberapa ketentuan dalam BW, yang mengindikasikan, bahwa BW menganut prinsip, kalau hubungan hukum yang menjadi dasar penyerahan batal, maka hak milik kembali kepada pemilik asal, seperti yang nampak pada Pasal 928, 929, 1004, 1265 dan Pasal 1689 BW.

 

Pasal 928 dan Pasal 929 BW adalah ketentuan yang mengatur akibat, kalau para ahli waris legitimaris (ahli waris yang hak warisnya dijamin oleh undang-undang)[1] menuntut legitieme porsinya. Kalau warisan yang ada, karena adanya hibah-hibah yang dilakukan oleh pewaris semasa hidupnya, menjadikan warisan tidak bisa mencukupi untuk memenuhi legitieme portie yang dituntut oleh ahli waris legitimaris, maka terhadap hibah-hibah itu akan dilakukan pengurangan, yang disebut inkorting

 

Pasal 928 BW mengatakan:

“Segala barang tak bergerak yang karena pengurangan harus kembali dalam harta peninggalan, benda itu kembali dalam keadaan bebas dari hutang-hutang dan hipotik yang diletakkan oleh si yang menerima hibah”.

 

Pasal 929 BW mengatakan:

“Gugatan oleh para ahli waris, yang melancarkan pengurangan atau pengembalian, dapat ditujukan kepada pihak ketiga yang menguasai benda tetap itu, yang merupakan sebagian dari benda yang dihibahkan dan yang oleh penerima hibah telah diasingkan, dengan cara dan dalam urutan yang sama seperti terhadap para penerima hibah itu sendiri”.

 

Kedua ketentuan itu merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 924 BW, yang mengatur tentang, kalau terhadap hibah-hibah yang telah diberikan oleh pewaris semasa hidupnya, harus dilakukan pengurangan (inkorting) demi untuk memenuhi legitieme portie yang dituntut oleh ahli waris legitimaris. Maka pengurangan itu dilakukan menurut urutan mulai dari hibah yang paling akhir dan selanjutnya. Kalau belum cukup, diambil dari hibah yang terjadi sebelum itu, sampai legitieme portie dipenuhi.

 

Hal itu berarti, bahwa hibah yang terkena inkorting batal dan benda yang telah dihibahkan kembali ke dalam warisan (baca Pasal 928 di atas) dan kalau terjadi bahwa sementara itu benda itu telah dialihkan ke orang lain, maka hak ahli waris bisa ditujukan kepada pihak ketiga yang memegangnya, sehingga haknya nampak sebagai suatu hak kebendaan.

 

Dari apa yang disebutkan di atas, menurut penganut Teori Kausal, bisa disimpulkan, bahwa:

Beberapa ketentuan BW menganut prinsip, bahwa kalau hubungan obligatoirnya batal atau dibatalkan, maka penyerahan yang didasarkan atasnya, tidak berhasil mengalihkan hak milik.

 

Demikian juga pasal-pasal lain yang dikemukakan di atas, yang menjadi dasar pembenar Teori Kausal, menunjukkan, bahwa kalau hubungan hukum yang menjadi dasar penyerahan batal, maka penyerahan yang didasarkan atasnya tidak berhasil mengalihkan hak milik kepada pihak yang menerima penyerahan.

 

Namun demikian di dalam BW tidak ada ketentuan umum yang mengatakan, bahwa untuk timbulnya akibat hukum yang sah, disyaratkan adanya suatu sebab yang sah.[2]

 

Perhatikan kata-kata “ketentuan umum”. Memang ada ketentuan khusus tertentu yang mensyaratkan seperti itu, tetapi sebagai suatu ketentuan umum tidak ada.

 

Menurut penganut Teori Abstrak justru ada beberapa ketentuan, yang melepaskan akibat dari sebabnya. Pasal-pasal dimaksud adalah Pasal 1119, 1341 dan 1688 BW.

 

Pasal 1119 BW mengatakan:

“Tiada suatu pemisahan ulang yang dilakukan sesudah dibatalkannya pemisahan harta peninggalan, dapat membawa kerugian bagi hak-hak yang sebelum itu telah diperoleh orang-orang pihak ketiga secara sah”. 

 

Berdasarkan ketentuan di atas, maka sekalipun Pemisahan dan Pembagian yang telah dilakukan dibatalkan. Namun demikian apa yang telah diperoleh pihak ketiga, yang beriktikad baik, dari si penerima pemisahan dan pembagian tetap menjadi milik pihak ketiga yang bersangkutan.

 

Hal itu berarti, bahwa sekalipun hubungan hukum yang menjadi dasar penyerahan dibatalkan, penyerahan itu tetap menjadikan dirinya sebagai pemilik dari benda yang diserahkan kepadanya.

 

Pasal 1341 BW, yang merupakan pasal yang terkenal dengan sebutan pasal Actio Pauliana, mengatakan:

“Meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama apapun juga, yang merugikan orang-orang berpiutang, asal dibuktikan bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik si berutang maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orng-orang berpiutang”.

 

Jadi kreditur yang dalam peristiwa seperti itu dirugikan berhak menuntut pembatalan perbuatan itu. Lalu bagaimana akibatnya kalau perbuatan itu telah dibatalkan?

 

Pasal 1341 ayat (2) BW mengatakan:

“Hak-hak yang diperoleh dengan iktikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, dilindungi”.

 

Ternyata hak-hak pihak ketiga yang diperoleh berdasarkan perbuatan yang dibatalkan itu, tetap menjadi hak pihak ketiga yang memperolehnya, asalkan pihak ketiga iktikadnya baik.

 

Jadi, ternyata hak-hak pihak ketiga, yang diperoleh berdasarkan perbuatan yang dibatalkan itu, tidak turut menjadi batal, sekalipun perbuatan yang menjadi dasar perolehannya batal. Demikian juga dengan Pasal 1688 BW memberikan dasar untuk Teori Abstrak.

 

J. Satrio

 

[1] baca J. Satrio, Hukum Waris, hlm. 241 dsl.

[2] A. Pitlo, Zakenrecht, hlm. 224.

Tags:

Berita Terkait