Pelik Mencari Sosok Pemimpin Banten Di luar ‘Dinasti Politik’
Berita

Pelik Mencari Sosok Pemimpin Banten Di luar ‘Dinasti Politik’

Menurut penilaian sejumlah LSM pemimpin yang berasal dari dinasti politik tidak lebih baik dari mereka yang maju karena dukungan dan kapabilitas.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Catatan ICW, pemimpin yang baik justru lahir dari bukan keluarga. Misalnya, pemimpin seperti Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil serta pemimpin daerah lain menjadi contoh konkret bahwa pemimpin bersih dan baik tidak berasal dari politik dinasti. “Mereka semua tidak lahir dari politik dinasti,” katanya menegaskan.
Di tempat yang sama, Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti berpendapat bahwa dinasti politik, khususnya di Banten tidak memberikan sumbangsih apapun kepada perbaikan daerah. Hal itu sempat diamini oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam suatu kesempatan yang menyebut pada intinya kota Serang menjadi salah satu daerah yang paling terbelakang. 
Dikatakan Ray, fakta itu mestinya menjadi pertimbangan penting untuk melarang calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah atau perkawinan untuk maju dalam pemilihan. “Dari situ mestinya dilarang politik dinasti. Reformasi tidak sempurna kalau masih ada politik dinasti” kata Ray.
Sayangnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang diputus tanggal 8 Juli 2015 menyatakan bahwa Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) tentang larangan bakal calon kepada daerah memiliki hubungan darah atau perkawinan melanggara UUD 1945. 
“Pasca putusan MK itu, gerakan antikorupsi di Banten menjadi semakin berat,” kata Ray.
Dari segi sosial kemasyarakatan, Pemimpin Redaksi Majalah Historia, Bonnie Triyana mengatakan bahwa masyarakat di Banten terbagi dalam dua kategori. Kategori pertama, yakni masyarakat ‘Tangerang Raya’, dimana kelompok ini telah akrab dengan isu antikorupsi dan politik dan kategori kedua, yakni masyarakat ‘Banten’ yang sama sekali tidak paham akan isu antikorupsi dan antipolitik seperti yang terjadi di wilayah Pandeglang, Lebak, Serang, dan Cilegon.
Kedua kategori tersebut punya sisi baik dan buruk bila dikaitkan dengan politik dinasti di Banten. Ambil contoh, misalnya kondisi kelompok masyarakat ‘Banten’ yang buta politik dan isu antikorupsi telah dimanfaatkan oleh sekelompok golongan yang datang dan mengaku berkuasa di tanah Banten dan semakin membuat mata mereka tertutup dengan demokrasi yang substansi. Akibatnya, proses politik dalam pemilihan daerah selama ini praktis terjadi tanpa pertimbangan integritas, intelektualitas, prestasi, dan rekam jejak setidaknya secara individu.
“Politik dinasti itu menutup demokrasi dalam masyarakat atau bahkan apa struktur masyarakat di Banten memang tidak compatible dengan sistem demokrasi?,” katanya bingung. 
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait