Pembalikan Beban Pembuktian Hukum Administrasi Perpajakan
Kolom

Pembalikan Beban Pembuktian Hukum Administrasi Perpajakan

Penggunaan UU Pengadilan Pajak dalam proses keberatan seharusnya menjadi terobosan baru untuk menentukan cara pandang penyelesaian sengketa pajak.

Bacaan 5 Menit
Kartika Cahya Kencana. Foto: Istimewa
Kartika Cahya Kencana. Foto: Istimewa

Dalam beberapa kesempatan internalisasi bersama Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo merasa tidak nyaman dengan tingkat kemenangan DJP di Pengadilan Pajak yang masih kurang menggembirakan dan proses penyelesaian keberatan yang terlalu lama menurut TADAT (Tax Administration Diagnostic Assessment Tool). Analisis kinerja administasi pajak pada klaster upaya hukum keberatan yang dinilai kurang memuaskan oleh TADAT dengan waktu penyelesaian permohonan yang lebih dari 3 bulan membuktikan bahwa penetapan pajak yang telah berjalan selama ini kurang dirasakan kesetaraan atau keseimbangan perannya dalam argumentasi pijakan landasan hukum oleh Wajib Pajak sesuai asas The Four Maxims Taxation dari Adam Smith dalam bukunya berjudul The Wealth of Nation

Dalam ranah pragmatis litigasi hukum pajak, ketidaksetaraan atau ketidakseimbangan peran ini banyak bertumpu pada biasnya beban pembuktian atas sengketa pajak. Beban pembuktian merupakan kewajiban dari salah satu pihak untuk memberikan bukti yang cukup untuk mendukung posisi argumentasinya.

Beban pembuktian ini kerapkali menjadi sumber permasalahan bagi Wajib Pajak yang selalu diberikan pembebanan pembuktian oleh Fiskus dalam sengketa pajak sejak dari saat pemeriksaan pajak sampai dengan proses keberatan. Beban pembuktian ini menjadi berbalik pada saat sengketa pajak disidangkan di Pengadilan Pajak. Permasalahan beban pembuktian ini pula yang mengakibatkan masih banyaknya kekalahan yang diderita oleh fiskus dalam setiap persidangan.

Baca juga:

Mengingat Pasal 9A UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah spesialisasi dari peradilan TUN maka terkait dengan paradigma umum dari penyelesaian sengketa pajak tentunya merujuk pada UU PTUN. Pasal 48 ayat (2) UU PTUN mengatur antara lain bahwa pengadilan baru berwenang memeriksa sengketa TUN jika seluruh upaya administrasi telah dilakukan maka Pengadilan Pajak serta merta tidak dapat memeriksa sengketa perpajakan jika belum melalui upaya administrasi yaitu berupa keberatan. 

Pasal 76 UU Pengadilan Pajak mengatur antara lain bahwa asas yang dianut oleh Undang-undang Perpajakan adalah kebenaran materiil dan hakim menentukan apa yang dibuktikan, beban dan penilaian pembuktian secara adil bagi Wajib Pajak dan Fiskus serta sahnya bukti dalam persidangan. Sinkronisasi dari pasal tersebut adalah beban pembuktian menurut UU KUP yang diyakini sebagai Hukum Pajak Formal atau sering dikenal sebagai Hukum Acara dalam ranah hukum lainnya. Hukum Pajak Formal ini memuat prosedur untuk mewujudkan Hukum Pajak materiil seperti contoh Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai – Pajak Penjualan Barang Mewah, menjadi suatu kenyataan atau terealisasi.

Sejak reformasi awal perpajakan di tahun 1983, Pemerintah melalui DJP telah mereformasi ketentuan perpajakan yang sangat mendasar yaitu adanya perubahan materiil terhadap asas pemungutan pajak dari semula official menjadi self assessment. Hal ini menimbulkan konsekuensi logis yuridis bahwa beban pembuktian terkait dengan sengketa pajak pun berubah yang semula berada di pihak Wajib Pajak menjadi beban dari Fiskus dalam hal ini adalah Direktur Jenderal Pajak.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait