Pembentuk UU Diperintahkan 'Rombak' Batas Usia Perkawinan!
Utama

Pembentuk UU Diperintahkan 'Rombak' Batas Usia Perkawinan!

Lewat putusan ini, pemerintah harus mampu melihat bahwa perubahan UU Perkawinan ataupun upaya pengesahan perppu mutlak diperlukan.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Karena itu, Mahkamah memberi tenggat waktu selama 3 tahun kepada pembentuk UU untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas usia minimal perkawinan, khususnya Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan itu. Namun, sebelum dilakukan perubahan, maka Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan masih tetap berlaku.

 

Meski demikian, apabila dalam tenggang waktu 3 tahun pembentuk UU belum mengubah aturan batas minimal usia perkawinan itu, demi kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi yang timbul, maka batas minimal usia perkawinan itu diharmonisasikan dengan usia anak (di bawah 18 tahun) sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak yang diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan.     

 

Menghargai

Salah satu kuasa hukum para Pemohon, Anggara Suwahju mengatakan Koalisi 18+ menghargai putusan MK yang menyebut usia perkawinan perempuan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tegas Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan HAM. Melalui putusan ini menjadi jelas bahwa Perkawinan Anak, khususnya anak perempuan bertentangan dengan HAM.

 

“Pemerintah harus segera melakukan perubahan dalam UU Perkawinan, yang mengatur batas usia perkawinan anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak,” kata Anggara kepada Hukumonline.

 

Hanya saja, Anggara mengkritik alasan MK menetapkan tenggang waktu 3 tahun agar pembentuk UU mengubah batas usia perkawinan terutama bagi perempuan. “Tanpa ada penjelasan, MK menyatakan masa tunggu 3 tahun. Seharusnya MK mampu melihat kedaruratan praktik perkawinan anak di Indonesia,” kata Anggara.

 

Dia merilis data Unicef per 2017, Indonesia menduduki peringkat 7 angka perkawinan anak terbesar di dunia. Dan menempati posisi ke-2 di negara ASEAN berdasarkan data Council of Foreign Relation. Menurut Badan Pusat Statistik pada 2016, 17 persen anak Indonesia sudah menikah, sehingga seharusnya MK tidak perlu menyatakan masa tunggu selama 3 tahun.

 

Anggara juga mengingatkan pemerintah sudah mewacanakan mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) untuk mencegah perkawinan anak sejak tahun 2016. Namun, hingga kini tidak ada tindak lanjut dari upaya ini. Semangat menghentikan perkawinan anak dari pemerintah seolah hilang, timbul hanya karena euporia munculnya kasus-kasus perkawinan anak yang mengkhawatirkan.

 

“Untuk itu, lewat putusan ini, pemerintah harus mampu melihat bahwa perubahan UU Perkawinan ataupun upaya pengesahan perppu mutlak diperlukan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait