Pembentuk UU Diperintahkan 'Rombak' Batas Usia Perkawinan!
Utama

Pembentuk UU Diperintahkan 'Rombak' Batas Usia Perkawinan!

Lewat putusan ini, pemerintah harus mampu melihat bahwa perubahan UU Perkawinan ataupun upaya pengesahan perppu mutlak diperlukan.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Dalam putusannya, frasa “usia 16 tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan masih tetap dinyatakan berlaku hingga tenggat waktu yang ditentukan dalam putusan ini.  

 

"Memerintahkan pembentuk undang-undang (UU) dalam jangka waktu paling lama 3 tahun melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan, khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan bernomor 22/PUU-XV/2017 di ruang sidang MK, Kamis (13/12/2018). 

 

Pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan terkait batas usia perkawinan ini diajukan oleh Endang Wasrinah, Maryanti, Rasminah yang diwakili sejumlah pengacara publik yang tergabung dalam Koalisi 18+. Intinya, Para Pemohon yang mengaku sebagai korban perkawinan anak, menilai ketentuan batas yang membedakan usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan itu dianggap diskriminasi. Hal ini mengakibatkan hak-hak konstitusional mereka terlanggar, seperti hak kesehatan, pendidikan, tumbuh kembang yang dijamin konstitusi.

 

Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan, "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun."

 

Mahkamah menilai perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan menimbulkan diskriminasi atas dasar jenis kelamin atau gender yang berdampak tidak terpenuhinya hak anak perempuan sebagai bagian hak asasi manusia (HAM) yang dijamin konstitusi. Karena itu, dalil permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.

 

Sekalipun dalil permohonan beralasan menurut hukum, namun Mahkamah tidak bisa serta merta (otomatis) menyatakan (memutuskan) Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang frasa “umur 16 tahun” inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dibaca “usia 19 tahun” sebagaimana petitum permohonan. Artinya, Mahkamah tak bisa mengabulkan keinginan Para Pemohon yang meminta batas usia minimal perkawinan laki-laki dan perempuan disamakan menjadi 19 tahun karena hal ini menjadi kewenangan pembentuk UU (positive legislator).           

 

Seperti telah ditegaskan Mahkamah sebelumnya, penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU. Sebab, apabila Mahkamah memutuskan batas usia minimal perkawinan, justru akan menutup ruang pembentuk UU di kemudian hari guna mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai perkembangan hukum dan masyarakat (sosiologis).

 

Karena itu, Mahkamah memberi tenggat waktu selama 3 tahun kepada pembentuk UU untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas usia minimal perkawinan, khususnya Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan itu. Namun, sebelum dilakukan perubahan, maka Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan masih tetap berlaku.

 

Meski demikian, apabila dalam tenggang waktu 3 tahun pembentuk UU belum mengubah aturan batas minimal usia perkawinan itu, demi kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi yang timbul, maka batas minimal usia perkawinan itu diharmonisasikan dengan usia anak (di bawah 18 tahun) sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak yang diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan.     

 

Menghargai

Salah satu kuasa hukum para Pemohon, Anggara Suwahju mengatakan Koalisi 18+ menghargai putusan MK yang menyebut usia perkawinan perempuan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tegas Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan HAM. Melalui putusan ini menjadi jelas bahwa Perkawinan Anak, khususnya anak perempuan bertentangan dengan HAM.

 

“Pemerintah harus segera melakukan perubahan dalam UU Perkawinan, yang mengatur batas usia perkawinan anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak,” kata Anggara kepada Hukumonline.

 

Hanya saja, Anggara mengkritik alasan MK menetapkan tenggang waktu 3 tahun agar pembentuk UU mengubah batas usia perkawinan terutama bagi perempuan. “Tanpa ada penjelasan, MK menyatakan masa tunggu 3 tahun. Seharusnya MK mampu melihat kedaruratan praktik perkawinan anak di Indonesia,” kata Anggara.

 

Dia merilis data Unicef per 2017, Indonesia menduduki peringkat 7 angka perkawinan anak terbesar di dunia. Dan menempati posisi ke-2 di negara ASEAN berdasarkan data Council of Foreign Relation. Menurut Badan Pusat Statistik pada 2016, 17 persen anak Indonesia sudah menikah, sehingga seharusnya MK tidak perlu menyatakan masa tunggu selama 3 tahun.

 

Anggara juga mengingatkan pemerintah sudah mewacanakan mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perppu) untuk mencegah perkawinan anak sejak tahun 2016. Namun, hingga kini tidak ada tindak lanjut dari upaya ini. Semangat menghentikan perkawinan anak dari pemerintah seolah hilang, timbul hanya karena euporia munculnya kasus-kasus perkawinan anak yang mengkhawatirkan.

 

“Untuk itu, lewat putusan ini, pemerintah harus mampu melihat bahwa perubahan UU Perkawinan ataupun upaya pengesahan perppu mutlak diperlukan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait