Pemerintah Klaim UU HPP Berikan Keadilan dan Kepastian Hukum Sektor Perpajakan
Terbaru

Pemerintah Klaim UU HPP Berikan Keadilan dan Kepastian Hukum Sektor Perpajakan

Tujuan UU HPP ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES

Pemerintah bersama DPR secara resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi UU dalam rapat paripurna di Kompleks Gedung Parlemen, Kamis (7/10). Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa UU HPP menjadi salah satu tonggak bersejarah reformasi perpajakan yang menjadi bagian dari reformasi struktural untuk mencapai Indonesia Maju melalui pondasi sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.

Reformasi perpajakan juga menjadi bagian dari proses berkelanjutan upaya percepatan pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional melalui penataan ulang sistem perpajakan agar lebih kuat di tengah tantangan pandemi dan dinamika masa depan yang harus terus diantisipasi.

“Asas dari peraturan perpajakan yang ingin dibangun di dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah perpajakan harus menimbulkan keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers daring, Kamis (7/10).

Adapun tujuan UU HPP ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi. Menurut Menkeu, pemulihan ekonomi dan pembalikan pertumbuhan membutuhkan banyak sekali sumber daya, dan Menkeu menekankan bahwa ini harus didesain secara sangat hati-hati dan detail. Pemerintah menggunakan semua instrumen yang ada dalam APBN seperti perpajakan baik pajak dan bea cukai, PNBP, belanja negara, belanja daerah, dan pembiayaan untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi tersebut.

“Kita juga ingin melalui Undang-undang ini mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum, serta melaksanakan reformasi administrasi, serta kebijakan perpajakan yang makin harmonis dan konsolidatif untuk memperluas juga basis perpajakan kita di era globalisasi dan teknologi digital yang begitu sangat mendominasi,” lanjutnya. (Baca: Sah! Begini Materi Muatan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan)

Selanjutnya, melalui UU HPP ini adalah pemerintah ingin terus meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Sri Mulyani menilai bahwa langkah reformasi yang diambil melalui UU HPP ini melalui beberapa hal, yaitu dengan melakukan penguatan administrasi perpajakan (KUP), program pengungkapan sukarela wajib pajak (PPS), serta perluasan basis perpajakan yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan melalui perbaikan kebijakan dalam PPh, PPN, cukai dan pengenalan pajak karbon.

“Muatan pertama dalam Undang-undang ini adalah Undang-undang yang menyangkut pajak penghasilan (PPh), untuk (perubahan) UU pajak penghasilan ini berlaku mulai tahun pajak 2022. Kemudian muatan kedua menyangkut undang-undang pajak pertambahan nilai (PPN) yang baru akan mulai berlaku 1 April 2022. Jadi perubahan di PPN tidak berlaku pada tanggal 1 Januari 2022, namun 1 April 2022 dan memberikan waktu untuk kita terus memberikan komunikasi dan terus menyampaikan ke publik mengenai struktur dari PPN ini,” jelasnya.

Muatan UU HPP yang ketiga adalah yang menyangkut Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) yang berlaku mulai sejak Undang-undang ini diundangkan. Yang keempat, adalah program pengungkapan sukarela yang berlaku hanya 6 bulan sejak tanggal 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Yang kelima adalah elemen pajak karbon yang baru mulai berlaku tanggal 1 April 2022, namun mengikuti peta jalan di bidang karbon. Dan yang keenam adalah perubahan di bidang UU cukai yang berlaku sejak tanggal diundangkan.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie O.F.P, dalam laporan akhir pembahasan RUU HPP, mengatakan UU ini memuat 9 bab dan 19 pasal. Pertama, judul. Penyusunan RUU HPP menggunakan metode omnibus law, sehingga mengubah atau menghapus sejumlah pasal di beberapa UU terkait.

Kedua, ketentuan umum dan tata cara perpajakan yakni mengatur tentang penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi. Menurutnya, dengan terintegrasinya penggunaan NIK bakal mempermudah memantau administrasi Wajib Pajak Indonesia (WPI), khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP).

Ketiga, ketentuan pajak penghasilan, antara lain adanya perbaikan pengaturan lampiran tarif PPh orang pribadi yang berpihak pada lapisan penghasilan terendah yang saat ini sebesar Rp60 juta. Kemudian adanya penambahan lapisan tarif PPh (WPOP) sebesar 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.

Keempat, ketentuan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dia menjelaskan ada komitmen keberpihakan pada masyarakat bawah tetap terjaga melalui pemberian fasilitas pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan social sebagai kebutuhan dasar masyarakat banyak. Selain itu, diperkenalkan skema PPN final bagi sektor tertentu agar lebih memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM serta penyesuaian tarif PPN secara bertahap sampai dengan 2025.

Kelima, ketentuan terkait Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP). Dalam mendorong peningkatan kepatuhan sukarela, Panja RUU menyusun PPSWP yang memfasilitasi para wajib pajak yang memiiliki iktikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan dengan memperhatikan pemenuhan rasa keadilan bagi seluruh wajib pajak. Program ini diharapkan dapat mendorong wajib pajak secara sukarela mematuhi kewajiban pajaknya.

Keenam, ketentuan pajak karbon. Ada penyusunan peta jalan pajak karbon dan pasar karbon, penetapan subjek, objek, dan tarif pajak karbon, serta insentif bagi wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon. Hal ini bentuk komitmen terhadap lingkungan, perubahan iklim, dan penurunan emisi gas rumah kaca. “Agar kita tetap dapat mewariskan negara ini kepada generasi penerus bangsa,” lanjutnya.

Ketujuh, ketentuan terkait cukai. Ada penegasan ranah pelanggaran administrasi dan prinsip ultimum remedium terhadap tindak pidana cukai bagi kepentingan penerimaan negara dan kepastian hukum. Adanya aturan tersebut diharapkan prinsip ultimum remedium menjadi pendorong restorative justice di bidang cukai.

Tags:

Berita Terkait