Pemerintah Tegaskan Komitmen dalam Pelestarian Lingkungan di UU Ciptaker
Berita

Pemerintah Tegaskan Komitmen dalam Pelestarian Lingkungan di UU Ciptaker

Kehadiran UU Cipta Kerja akan semakin menjamin keberlangsungan program perhutanan sosial.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Foto: RES
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Foto: RES

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bersama dengan Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya terus melakukan diseminasi informasi kepada masyarakat terkait Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan pada 2 November lalu. Pemerintah saat ini telah menyelesaikan 44 Peraturan Pelaksanaan yang terdiri dari 40 RPP dan 4 rancangan Perpres, termasuk di dalam aturan pelaksanaan ini ada 3 RPP untuk sektor lingkungan hidup dan kehutanan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko) Airlangga Hartarto mengatakan, program Perhutanan Sosial yang digulirkan pemerintah sejak 2007 telah memberi banyak manfaat kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan negara dan hutan adat (hak). Kehadiran UU Cipta Kerja akan semakin menjamin keberlangsungan program ini.

“Terkait pembahasan mengenai perhutanan sosial, pemerintah berharap akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan antara lingkungan dan dinamika sosial budaya yang ada,” katanya dalam pernyataan tertulis, Jumat (11/12).

Dampak program perhutanan sosial terhadap masyarakat yang berada di sekitarnya terbagi

dalam tiga bagian. Pertama adalah dampak ekonomi, karena secara tidak langsung memberikan pekerjaan baru kepada masyarakat. Jika dilihat data statistik, lanjutnya, ada sekitar 800.000 kepala keluarga (KK) yang sudah mempunyai pendapatan akses kelola hutan.

Kedua yakni dampak sosial. Sekarang, masyarakat tidak lagi merasa cemas sebab dapat melakukan pengelolaan kawasan hutan secara legal. Masyarakat bisa lebih tenang mengelola

lahan kawasan hutan karena sudah memiliki dasar hukum. Adanya UU Cipta Kerja juga diharapkan mampu mengurangi ketimpangan penguasaan hutan antara masyarakat luas dengan korporasi.

Ketiga dampak lingkungan. Dengan adanya pelembagaan yang legal dari pemerintah, maka masyarakat sekitar tidak bisa membuka lahan dengan cara membakar ataupun dengan penebangan liar yang mengganggu kelestarian hutan.

Airlangga menambahkan, perekonomian masyarakat hutan mengalami peningkatan pasca program perhutanan sosial. Pasalnya, dengan adanya sertifikasi akses dari pemerintah, saat ini masyarakat tidak lagi menganggap upaya pengelolaan lahan hutan sebagai usaha sampingan, namun justru menjadi usaha pokok dengan skala cukup besar yang tentunya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Baca:

Investasi di hutan dalam UU Cipta Kerja merupakan investasi yang menerapkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. Dengan masuknya perhutanan sosial dalam UU Cipta Kerja, pemerintah membuka investasi untuk masyarakat luas, namun tetap harus dalam koridor pelestarian lingkungan.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengatur pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis

perhutanan sosial untuk peningkatan ekonomi nasional. “Bila dikelola secara klaster, kemudian kita dukung dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan diikuti dengan pendampingan, produk yang dihasilkan akan memiliki daya saing tinggi, dan harapannya bisa diekspor. Saat ini, program perhutanan sosial telah memberikan ruang pekerjaan baru bagi sekitar 800 hingga 900 ribu KK,” jelasnya.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof. Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana menilai bahwa salah satu substansi yang dikritisi yakni pengaturan sektor lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja yang dinilai tidak lebih baik dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dia menilai UU Cipta Kerja melemahkan peran serta masyarakat jika dibandingkan dengan UU PPLH.

Prof Andri menyebut UU Cipta Kerja mengubah Pasal 26 UU 32/2009 yang dinilainya sangat membatasi atau mempersempit partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam rangka perlindungan lingkungan hidup secara optimal. Sebab, definisi masyarakat hanya terbatas masyarakat yang terdampak. Sementara peran masyarakat pemerhati lingkungan hidup ataupun yang terpengaruh terhadap berbagai bentuk keputusan dalam proses Amdal dihilangkan.

Dia menilai alasan perubahan norma Pasal 26 dalam UU Cipta Kerja karena keterlibatan masyarakat oleh sebagian pihak menjadi faktor penghambat investasi. “Jadi niatnya memang ingin menghilangkan keterlibatan masyarakat karena dianggap menghambat investasi,” ujar Prof Andri G Wibisana.  

Menurut dia, perubahan Pasal 26 UU PPLH melalui UU Cipta Kerja ini untuk mempercepat perolehan dokumen penerbitan Amdal yang selama ini kerap muncul penolakan dari lembaga pemerhati lingkungan hidup. “Rumusan norma Pasal 26 UU 32/2009 dalam UU Cipta Kerja, tak bisa lagi LSM atau pihak lain mengajukan keberatan atau penolakan atas terbitnya Amdal dalam proyek tertentu.”

Lebih lanjut, dia mengatakan peran masyarakat ini sebatas terlibat dalam penyusunan Amdal. Itupun hanya masyarakat terdampak langsung dari setiap rencana usaha atau kegiatan yang dimohonkan Amdal. Selain itu, keberatan atau upaya hukum terhadap dokumen Amdal untuk digugat dan dibatalkan melalui pengadilan (PTUN, red) pun tidak ada lagi. Sebab, keberadaan Pasal 38 UU 32/2009 dihapus melalui UU Cipta Kerja.

“Jadi semua tersentralistik di pemerintah. Seolah sengaja menghilangkan kesempatan masyarakat untuk protes, keberatan, dan mengajukan langkah hukum ketika keputusan (Amdal, red) sudah dibuat,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait