Pemilu Serentak, Haruskah 'Dirombak' Total?
Utama

Pemilu Serentak, Haruskah 'Dirombak' Total?

Ke depan, pasca pemilu serentak ini, tinggal bagaimana pembentuk UU dan pemangku kepentingan, apakah desain pemilu serentak ini tetap dipertahankan dengan beberapa perubahan atau diganti total dengan merumuskan kembali sistem penyelenggaraan pemilu yang ideal sesuai kondisi zamannya.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Akibatnya, jumlah TPS diperbanyak atau membengkak dibandingkan Pemilu 2014. Makanya, jumlah TPS di Pemilu 2019 mencapai lebih dari 800 ribu, meningkat drastis dari Pemilu 2014 yang hanya 500 ribuan TPS. Upaya itu diakui Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin yang ternyata belum mampu menekan beban kerja para petugas di lapangan.

 

Dengan maksimal jumlah 300 pemilih setiap TPS, bila di rata-rata setiap KPPS akan menghitung 1.500 surat suara setelah masa pemungutan suara selesai. Persoalanya, UU Pemilu tak memungkinkan ada pembagian waktu kerja bagi KPPS. Alhasil, proses pemungutan hingga penghitungan suara harus dilakukan secara marathon.

 

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan pun akhirnya memberi santunan terhadap para korban pasca pemungutan suara. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam suratnya  bernomor S-316/KMK.02/2019 yang ditujukan kepada pimpinan KPU telah menetapkan besaran santunan kepada mereka yang meninggal saat pelaksanaan tugas penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Rinciannya, untuk korban meninggal sebesar Rp36 juta; cacat permanen Rp30,8 juta; luka berat Rp16,5 juta; dan luka sedang Rp8,250 juta.

 

Efek sistem pemilu serentak muncul masalah lain, seperti tudingan dugaan kecurangan, mulai surat suara tercoblos pasangan calon presiden tertentu, surat suara dan kotak suara dibakar di beberapa TPS, kesalahan administrasi input data real count dalam sistem informasi perhitungan suara (situng) KPU. Hingga tulisan ini diturunkan, Bawaslu tengah menyidangkan dugaan kecurangan dalam sistem quick count dan real count situng KPU yang diajukan Badan Pemenangan Nasional (BPN), hingga tuntutan sejumlah pihak agar mengotopsi jenazah ratusan korban untuk mengetahui sebab-sebab kematiannya.   

 

Beragam masalah yang muncul tersebut membuat Ketua MK Anwar Usman secara pribadi sempat mengaku merasa bersalah dan “berdosa” karena pernah turut menetapkan “Pemilu Serentak 2019” saat menghapus norma pelaksanaan pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan pileg dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres pada Januari 2014 silam. Selain rumit, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 menelan banyak korban jiwa dari petugas penyelenggara pemilu.

 

“Sebagai Ketua MK, saya juga ikut merasa berdosa,” ujar Anwar Usman saat peresmian Masjid Al-Mujahiddin Tumpu, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Minggu (5/5/2019) seperti dikutip laman MK.

 

Salah satu pertimbangan MK saat memutus sistem pemilu serentak adalah efisiensi waktu dan anggaran. Namun, pelaksanaannya anggaran Pemilu Serentak 2019 justru lebih besar dari perkiraan hingga mencapai 25 triliun. “Saya begitu pulang dari TPS, ternyata betapa sulitnya (pelaksanaan) pemilu serentak. Tapi, putusan hakim MK pun bukan firman Tuhan, konstitusi saja bisa diamandemen,” kata Anwar Usman.

Tags:

Berita Terkait