Pencabutan 32 Regulasi ESDM Dinilai Belum Beri Kepastian bagi Investasi
Berita

Pencabutan 32 Regulasi ESDM Dinilai Belum Beri Kepastian bagi Investasi

Kementerian ESDM dinilai tidak melakukan kajian legal dan teknis-ekonomis yang memadai sebelum mengeluarkan peraturan.

CR-26
Bacaan 2 Menit

 

“Di Arab, cuacanya panas terus menerus sepanjang tahun, sehingga solar cell memungkinkan. Selain itu, perusahaan tidak perlu membayar bunga karena sistemnya keuangan syariah. Tidak mungkin kita disandingkan dengan Arab Saudi,” katanya. Baca Juga: ESDM 2017, dari Peningkatan Nilai Tambah Mineral Hingga Pemangkasan Izin

 

Senada dengan Jonathan, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai pencabutan aturan bidang EBTKE, khususnya tidak berkaitan dengan penyederhanaan proses bisnis, memberi kepastian investasi, atau kepastian yang lebih baik bagi pelaku usaha.

 

Pencabutan berbagai peraturan ini pada dasarnya terjadi karena peraturan-peraturan tersebut tidak akan dapat dijalankan (tidak implementatif) karena sudah terbit banyak aturan baru yang disusun oleh KESDM. Misalnya pencabutan Permen ESDM No. 19/2015; Permen ESDM No. 19/2016; Permen ESDM No. 18/2012; dan Permen ESDM No. 21/2016 merupakan konsekwensi logis setelah Menteri ESDM mengeluarkan Permen ESDM No. 12/2017 yang direvisi melalui Permen ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.  

 

“Kedua Permen tersebut mencabut insentif feed-in tariff untuk energi terbarukan yang digantikan dengan kebijakan harga energi terbarukan dengan referensi BPP PLN. Peraturan baru ini membatalkan beleid yang ada di peraturan-peraturan sebelumnya,” kata Fabby dalam keterangan persnya, Senin (5/2). 

 

Selain itu, pencabutan Permen ESDM No. 13/2012 tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik, penghematan pemakaian listrik yang dimandatkan peraturan tersebut praktis tidak berjalan. “Di tengah-tengah upaya PLN menaikkan penjualan listrik untuk mengatasi rendahnya pertumbuhan permintaan, pencabutan Permen ini juga dipandang sebagai upaya mendorong konsumsi listrik di gedung pemerintah dan BUMN,” kata dia.

 

Ia menyayangkan dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir Kementerian ESDM tidak melakukan kajian legal dan teknis-ekonomis yang memadai sebelum mengeluarkan peraturan. Sebab, upaya pengembangan energi terbarukan yang diatur Permen ESDM No. 50/2017 masih menjadi penghambat. “Aturan tersebut tidak sulit mendapat pendanaan dari perbankan karena ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT.”

 

Selain itu, kehadiran Permen ESDM No. 1/2017 akibat ketidakjelasan dalam klasifikasi jenis pembangkit paralel justru menjadi penghambat pengembangan surya atap (solar rooftop). Padahal, ia menilai potensi instalasi teknologi listrik surya mencapai 3,1 GW per tahun yang terdiri dari 1 GW merupakan potensi dari solar rooftop dan 2 GW untuk PLTS.

Tags:

Berita Terkait