Pendapatan Terpengaruh Akibat PPKM, Masyarakat Diimbau Hindari Fintech Ilegal
Terbaru

Pendapatan Terpengaruh Akibat PPKM, Masyarakat Diimbau Hindari Fintech Ilegal

Ketidakmampuan membayar utang yang membengkak dari pinjaman online sangat dipengaruhi oleh ketidakpahaman bahwa pinjaman online menarik bunga yang jauh lebih besar dari kredit bank pada umumnya.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pandemi Covid-19 yang memaksa diberlakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berdampak terhadap hilangnya pendapatan dan daya beli masyarakat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat memanfaatkan layanan pinjaman online atau fintech peer to peer lending (P2P). Sayangnya, sebagian masyarakat tersebut justru menggunakan layanan fintech ilegal sehingga berisiko terjadinya kerugian nasabah seperti biaya dan bunga pinjaman tinggi, pencurian data pribadi hingga penagihan kasar dan intimidatif.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Thomas Dewaranu, menyatakan perlindungan nasabah harus jadi perhatian utama regulator sekaligus pelaku usaha. Perlindungan yang diperlukan bagi nasabah pinjaman P2P ini terutama dalam hal transparansi persyaratan dan ketentuan pinjaman, serta penggunaan data pribadi untuk keperluan penagihan pembayaran.

Ketidakmampuan membayar utang yang membengkak dari pinjaman online sangat dipengaruhi oleh ketidakpahaman bahwa pinjaman online menarik bunga yang jauh lebih besar dari kredit bank pada umumnya. Bagi sebagian nasabah, hal ini juga diperparah oleh hilangnya sumber pendapatan mereka akibat kebijakan PPKM.

“OJK idealnya melakukan restrukturisasi pasar teknologi finansial, yang meliputi standar operasional bisnis pinjaman online, penggunaan Fintech Data Center (FDC) yang optimal untuk risk assessment dan perlindungan konsumen. Hal ini juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kebijakan yang ada dan untuk memperkuat perlindungan data nasabah,” jelas Thomas, Senin (19/7). (Baca: Duplikasi Nama dan Logo Jadi Modus Penipuan Fintech Ilegal)

Dia menjelaskan, standar operasional bisnis pinjaman online yang perlu diatur meliputi perlindungan data, transparansi bunga dan biaya yang harus dibayar peminjam dan standar proses penagihan utang. Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah penyalahgunaan atau penggunaan data konsumen secara eksesif seperti kontak, lokasi, dan galeri dalam telepon seluler untuk digunakan dalam proses penagihan hutang yang intimidatif. 

Terkait informasi kredit, OJK dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memang membutuhkan data komprehensif yang terus diperbaharui, baik melalui Fintech Data Center (FDC) maupun Standar Layanan Informasi Keuangan (SLIK).

Di lain pihak, pemilik data harus menyadari risiko data yang mereka berikan, hingga mereka harus bersikap hati-hati dan cermat dalam memberikan data. Pemilik data harus sadar apa saja data yang diperlukan terkait dengan tujuan layanan. Masalahnya, Fintech lending jenis payday loan ini kebanyakan menyasar konsumen kelas menengah ke bawah yang mayoritasnya masih belum melek literasi keuangan.

Dalam aturan mengenai fintech yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, setiap fintech yang beroperasi di Indonesia diharuskan untuk mencatatkan diri ke OJK secara legal lewat prosedur yang berlaku. Walaupun secara peraturan, OJK hanya dapat mengatur perusahaan fintech yang terdaftar. OJK dapat bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain dan lebih gencar dalam melakukan pemblokiran pemberi pinjaman ilegal ini untuk melindungi konsumen.

“Ironisnya, lebih banyak jumlah perusahaan fintech lending yang tidak terdaftar. Kontroversi yang sering terjadi pada faktanya banyak disebabkan oleh para fintech lending ilegal, terutama yang menjalankan model bisnis payday loan ini,” ujar Thomas.

Sementara itu, maraknya penipuan berkedok penawaran investasi di tengah masyarakat melalui grup pesan singkat telah memakan banyak korban dan jumlahnya terus bertambah. Tidak jarang, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut menduplikasi dan mencatut atau mengatasnamakan penyelenggara fintech berizin untuk mengelabui masyarakat.

Pada bulan April lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kerugian masyarakat akibat investasi ilegal mencapai Rp114,9 triliun sejak 2011 hingga 2020. Selain itu, kejahatan tersebut juga merugikan penyelenggara fintech yang telah berizin karena hilangnya kepercayaan masyarakat.

OJK, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyambut baik inisiatif Kampanye Anti Fintech Palsu ini.  Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara, juga mengingatkan kepada masyarakat agar lebih bijak dalam memilih instrumen investasi. Terlebih dengan iming-iming bunga tinggi yang diklaim tidak ada risikonya.

“Penipuan berkedok penawaran investasi melalui berbagai grup pesan singkat oleh fintech bodong saat ini tengah marak berlangsung. Kami mengimbau masyarakat agar selalu memastikan bahwa penawaran yang diterima memenuhi prinsip 2L, Legal dan Logis. Legal, berarti, memiliki legalitas dan izin penawaran produk dari lembaga yang berwenang; dan Logis, menawarkan keuntungan yang masuk akal,” kata Tirta, Kamis (15/7), dalam acara “Waspada Pencatutan Nama dan Logo Penyelenggara Fintech Resmi di Aplikasi Pesan Instan dan Media Sosial”.

Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Filianingsih Hendarta, menjelaskan saat ini jenis penipuan online dan kejahatan siber berpotensi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya digitalisasi di sektor jasa keuangan, termasuk sistem pembayaran. Bank Indonesia mengajak konsumen layanan keuangan digital untuk meningkatkan kewaspadaan atas potensi makin maraknya praktik penipuan ini.

“Kami mengimbau agar masyarakat selalu berhati-hati terhadap penipuan dan informasi yang tidak benar mengatasnamakan fintech berizin, selalu pastikan kebenarannya pada sumber yang resmi,” jelas Filianingsih.

Sementara itu, Kominfo mengajak masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan bijaksana dalam menggunakan produk investasi online. Agar terhindar dari penipuan, masyarakat diimbau untuk tidak mudah tergiur oleh tawaran investasi dengan tawaran keuntungan fantastis yang dikirimkan melalui aplikasi pesan instan dan media sosial.

“Selalu periksa lewat situs CekFintech.id untuk mengetahui apakah informasi produk yang ditawarkan adalah resmi dari penyelenggara fintech yang memiliki izin, serta CekRekening.id untuk memeriksa rekening bank yang diduga terindikasi tindak pidana,” terang Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan.

Melalui portal CekRekening.id, masyarakat dapat melaporkan sekaligus melakukan cek rekening yang terindikasi tindakan penipuan apabila menerima permintaan transfer atau pembayaran uang dari pihak lain. Rekening yang dapat dilaporkan dalam situs ini adah rekening terkait Tindak Pidana seperti penipuan, investasi palsu, narkotika dan obat terlarang, terorisme, dan kejahatan lainnya.

Tags:

Berita Terkait