Pengacara di Pinggiran Revolusi, di Pusaran Reformasi
All the Presidents’ Lawyers

Pengacara di Pinggiran Revolusi, di Pusaran Reformasi

Sebelum jadi Presiden, Soekarno sudah pernah berhadapan dengan peradilan. Saat menjadi Presiden, ia sering menyebut orang hukum susah diajak melakukan revolusi.

Oleh:
M. Yasin
Bacaan 2 Menit
Gedung Indonesia Menggugat tempat Soekarno membacakan pledoi-nya. Foto: Hot
Gedung Indonesia Menggugat tempat Soekarno membacakan pledoi-nya. Foto: Hot

Yogyakarta, 26 November 1961. Pembukaan Kongres I Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) bermakna penting bukan saja karena baru pertama kali digelar, tetapi juga karena dihadiri Presiden Soekarno. Sejumlah lawyer ternama hadir dalam acara itu.

Dalam ide-ide revolusi yang sering dilontarkan Presiden Soekarno, orang-orang hukum, jurist, tampaknya sangat sulit diajak turut serta. Bung Karno berkali-kali mengutip pidato aktivis buruh Jerman, Liebknecht, ‘Met jusristen kan je revolutie maken’. Orang hukum susah diajak melakukan revolusi. Itu pula yang disampaikan Bung Karno dalam Kongres I Persahi tersebut.

“Ahli hukum, jurist, kebanyakan sangat legalistis, sangat memegang kepada hukum-hukum yang prevaleren, sangat memegang kepada hukum-hukum yang ada, sehingga jikalau diajak revolusi –revolusi yang berarti melemparkan hukum yang ada, a revolution rejects yesterday ….amat sulitlah yang demikian itu,” ucap Bung Karno dalam pidatonya kala itu.

Bung Karno adalah tokoh yang sebelum menjadi presiden pun sudah berhadapan dengan kasus hukum. Di era pergerakan kemerdekaan, Bung Karno ditangkap Belanda bersama sejumlah tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI). Mereka diadili di Landraad Bandung, sidang dimulai pada 18 Agustus 1930. Di persidangan, Bung Karno dan kawan-kawan dibela oleh pengacara Mr. Sartono – kelak menjadi Ketua DPR pertama -, Mr Sastromulyono, Mr. Suyudi, dan Raden Idih Prawiradiputra.

Sebagai pengacara, Mr. Sartono memberikan pembelaan atas Bung Karno. Seperti termuat dalam buku Mr Sartono, Karya dan Pengabdiannya (ditulis Nyak Wali AT, 1985), pledoi Mr Sartono menganggap Bung Karno tak bersalah sesuai tuduhan penuntut.

Tuan Presiden! Yang tertuduh pertama (tuan Ir. Soekarno) telah berbicara panjang lebar dan membuktikan dengan jalan yang bagus dan membangkitkan kepercayaan, bahwa mereka bersih daripada perbuatan yang dituduhkan kepada mereka. Oleh sebab itu surat pembelaan atau pledoi kami hanya akan tertuju kepada beberapa keterangan-keterangan yang bergantung dengan surat penyerahan kepada persidangan Landraad (surat tuduhan acte van wervijzing), dengan caranya memberi bukti (bewijsvoering) dan harganya tanda-tanda bukti (berwijsmiddeelen)”.

Landraad menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara kepada Bung Karno. Aktivis PNI lainnya Gatot Mangkoepradja dihukum 2 tahun, Maskoen dihukum 1 tahun 8 bulan, dan Soepriadinata 1 tahun 3 bulan. Seperti disebut dalam Bung Karno di Hadapan Pengadilan Kolonial, Bung Karno akhirnya mendapat remisi sehingga hukumannya menjadi dua tahun.

Ketika menjadi Presiden, Bung Karno juga dihadapkan pada persoalan serupa. Bahkan lebih berat, ada warga yang dituduh berkomplot melakukan upaya pembunuhan terhadap Bung Karno. Itu terjadi pada peristiwa Cikini, 30 November 1957. Sejumlah orang ditangkap, dibawa ke pengadilan tentara, dengan tuduhan makar kepada Presiden Soekarno. Warga sipil bernama Yusuf Ismail, Sa’adon bin Mohammad, Tasrif, dan Mohamad Tasim duduk di kursi terdakwa gara-gara kasus pelemparan granat ke arah Presiden Soekarno.

Pengacara yang membela para terdakwa kasus ini adalah Mr. Harjono Tjitrosoebeno. Dalam pledoi Harjono meminta hakim memilah kapasitas Soekarno datang ke Cikini sebagai presiden atau sebagai pribadi, orang tua murid. “Bahwa Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno pada tanggal 30 November 1957 sore telah mengunjungi dan ada hadir pada perayaan (bazaar) Sekolah Rakyat Cikini di Jalan Cikini Raya No. 76 di Jakarta, tidak dalam kualiteit beliau sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia, akan tetapi sebagai perseorangan (in persoon) dalam prive sebagai orangtua, ialah sebagai bapak dari murid”.

Berhubung dengan itu, maka elemen Presiden dalam perbuatan yang dituduhkan kepada para terdakwa seperti yang disebut dalam Pasal 104 KUHP terbukti tidak ada, atau setidak-tidaknya elemen presiden tidak terbukti”. Di pengadilan tinggi tentara, para terdakwa dinyatakan terbukti berkomplot hendak membunuh Bung Karno. Majelis yang memutus perkara itu di tingkat banding adalah R. Tjitrosudibio, AJ Mokoginta, dan Roekminta.

Bung Karno pernah diangkat MPRS menjadi Presiden seumur hidup. Namun peristiwa G.30.S membuat kursi kepresidenan yang diduduki Bung Karno goyah. Lewat Surat Perintah 11 Maret, kendali Bung Karno atas keamanan beralih ke tangan Soeharto. Bung Karno akhirnya dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso. Salah satu yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah status Bung Karno dalam peristiwa G.30.S. Hingga presiden pertama itu wafat tak pernah ada proses pengadilan yang menyatakan ia terlibat atau tidak dalam peristiwa itu.

Terhadap hal ini, advokat S. Tasrif menulis di Indonesia Raya edisi 17 Juli 1970. “Tidak ada orang yang lebih berkepentingan mendudukkan peranan BK (Bung Karno) pada proporsi yang sebenarnya dalam peristiwa G.30.S daripada keluarganya sendiri. Maka oleh karena itu, sekiranya keluarga BK menghendaki adanya suatu uitspraak (penetapan, pernyataan--red) dari pengadilan mengenai terlibat tidaknya BK dalam peristiwa G.30.S, menurut hemat saya, salah seorang dari anggota keluarga ini dapat mengajukan pengaduan terhadap salah seorang yang sesudah BK meninggal menuduh BK berkhianat”. Pandangan S. Tasrif itu juga dimuat dalam bukunya Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru (Peradin, 1971).

Puluhan tahun kemudian, sebuah yayasan bernama Yayasan Mahakarya Pati mempersoalkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, ke Mahkamah Konstitusi. Ketika tulisan ini dibuat, permohonan judicial review itu masih berlangsung, meskipun hakim sudah mengingatkan Mahkamah Konstitusi tak berwenang menguji TAP MPR.

Anak sulung Soekarno, Megawati Soekarnoputri kemudian tampil sebagai presiden, menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelum menjadi Presiden, Megawati juga menghadapi problem hukum berkaitan dengan kasus 27 Juli 1996 dan perpecahan di tubuh PDI Perjuangan. Sebagai Ketua Umum partai, Megawati tercatat pernah digugat ke pengadilan. Berkaitan dengan kasus-kasus hukum, terutama setelah kasus 27 Juli, sejumlah pengacara membentuk Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang kini dipimpin pengacara Petrus Selestinus.

Hubungan Megawati dengan pengacara bisa dirujuk pada payung hukum advokat. Pada masa Presiden Megawati-lah Undang-Undang Advokat lahir. Namun sebagai Presiden, Megawati tak bersedia menandatangani UU No. 18 Tahun 2003 tersebut. Kuat dugaan penolakan ini berkaitan dengan kebolehan lulusan sarjana syariah menjadi advokat. Pemerintah akhirnya setuju lebih karena pertimbangan politik agar mendapat dukungan dari partai-partai berbasis Islam di parlemen. Dugaan ini antara lain disampaikan Fajar Laksono dan Subardjo dalam buku mereka ‘Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden (UII Press, 2006).

Seperti presiden lainnya, kepemimpinan Megawati juga tak luput dari kritik pedas, bahkan terkesan vulgar. Salah satu kasus yang tercatat berujung ke pengadilan adalah tulisan-tulisan harian Rakyat Merdeka. Beberapa judul tulisan pada edisi Januari dan Februari 2003 harian itu dianggap menghina Presiden Megawati. Misalnya, judul ‘Mulut Mega Bau Solar’, ‘Mega Lebih Ganas dari Sumanto’. Dalam kasus ini pelapornya bukan Presiden Megawati, melainkan seorang anggota kepolisian. Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka, Supratman, dihadapkan ke meja hijau. Di pengadilan, Supratman dibela Adnan Buyung Nasution dkk. PN Jakarta Selatan menghukum Supratman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan. Ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 137 KUHP.

Dalam jabatannya sebagai ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati menunjuk pengacara profesional untuk menghadapi gugatan. Sirra Prayuna, misalnya, mengaku beberapa kali menjadi kuasa hukum Megawati, termasuk berkaitan dengan partai. “Kalau ada gugatan terhadap Ibu Megawati, saya salah satu kuasa hukum beliau,” kata Sirra kepada hukumonline.

Lawyer yang dekat dengan Megawati baik sebelum maupun setelah jadi Presiden, Dwi Ria Latifa, menceritakan testimoni kepengacaraannya dalam buku Megawati Anak Putra Sang Fajar (2012). “Awalnya, saya hanya pengacara PDI Pro-Mega, pengacara PDI Perjuangan, dan selanjutnya pengacara Ibu Mega untuk kasus-kasus era reformasi. Ketika saya kenal beliau pada 1996, saya sudah menjadi pengacara profesional yang punya kantor sendiri, karyawan yang cukup lumayan, dan klien-klien yang cukup besar”. Pergaulan dengan Megawati itu akhirnya mendorong Dwi Ria Latifa ikut berpolitik, dan melenggang ke Senayan sebagai anggota Dewan.

Dwi Ria Latifa menilai Megawati sebagai pemimpin yang berkarakter. Ia tidak dendam kepada mantan Presiden Soeharto yang saat itu hendak diadili. Kepada Dwi Ria Latifa, Megawati mengatakan: “Tidak berarti saya harus dendam dengan memperlakukan Pak Harto sama seperti bapak saya diperlakukan oleh beliau”.

Penelusuran lain mengenai perkara hukum Megawati berkaitan dengan pemilu. Ketika kalah dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2009, pasangan Megawati-Prabowo juga menggunakan jasa pengacara untuk melakukan upaya hukum. Dan ketua tim hukum pasangan ini saat itu adalah Gayus T Lumbuun. Kini, Gayus tercatat sebagai salah seorang hakim agung.

Uniknya, sebuah catatan bertarikh 16 November 2001 mengungkapkan Gayus pernah menjadi kuasa hukum Lembaga Studi Advokasi Independensi Peradilan Indonesia (Ls-ADIPI) untuk dan atas nama kelompok masyarakat Timor-Timur Pro Integrasi. Kelompok ini menggugat pemerintah Indonesia c/q Presiden Megawati Soekarnoputri dan tergugat II mantan Presiden BJ Habibie. Gugatan itu diajukan secara class action di PN Jakarta Pusat.

Tags:

Berita Terkait