Pengawasan PSBB Libatkan Preman, LBH Jakarta: Ini Menghina Hukum
Berita

Pengawasan PSBB Libatkan Preman, LBH Jakarta: Ini Menghina Hukum

Pelibatan ormas atau preman menandakan gagal paham terkait relasi penegakan hukum kepolisian dan peran masyarakat. Anggota Komisi III DPR meminta pengerahan para preman pasar dalam upaya pendisiplinan warga terkait penerapan protokol Kesehatan tidak terealisasi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Petugas menghukum warga yang melanggar protokol kesehatan saat pelaksanaan PSBB Jakarta pada April lalu. Foto: RES
Petugas menghukum warga yang melanggar protokol kesehatan saat pelaksanaan PSBB Jakarta pada April lalu. Foto: RES

Pemerintah DKI Jakarta telah menerbitkan kebijakan “rem darurat” melalui pemberlakuan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak Senin (14/9) lalu untuk menekan laju penyebaran Covid-19. Dalam rangka penegakan disiplin menerapkan protokol kesehatan, kepolisian melibatkan ormas sebagaimana dikutip berbagai media. Wakapolri, Komjen Pol Gatot Eddy Pramono menyebut akan merekrut jeger atau preman untuk menegakan disiplin.

Tujuan pelibatan preman itu menurut Gatot untuk menggiatkan pencegahan munculnya klaster pasar. “Di situ kan ada jeger-jegernya di pasar, kita jadikan penegak disiplin, tapi tetap dikerahkan oleh TNI-Polri dengan cara-cara humanis,” kata Gatot di Polda Metro Jaya, Kamis (10/9) lalu seperti dikutip Antara.

Menanggapi hal itu, Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, menilai keliru jika ormas dan preman direkrut untuk membantu penegakan protokol kesehatan Covid-19. Pelibatan ini menunjukkan gagal paham mengenai partisipasi warga dalam pengendalian pandemi Covid-19.

Baginya, peran partisipasi warga seharusnya bersifat persuasif melalui ajakan positif melalui medium kampanye, pendidikan, dan sosialisasi dengan melibatkan tokoh formal, dan informal dalam komunitas masyarakat seperti RT, RW, kepala kampung, tokoh agama, atau kelompok pedagang pasar atau organisasi kepemudaan.

Tapi ranah partisipasi warga sifatnya terbatas, tidak mencakup pengawasan dan pendisiplinan karena itu merupakan kewenangan pemerintah dengan aparat penegak hukum melalui penegakan ketentuan UU Kekarantinaan Kesehatan dan peraturan turunannya. Selain itu, Arif menilai rencana pelibatan preman ini ngawur, tidak masuk akal, menghina hukum, dan konstitusi.

“Indonesia negara hukum, bukan negara preman. Mencoba mengatasi masalah pandemi Covid-19 dengan pendekatan represif melalui penegakan hukum saja tidak tepat, apalagi melibatkan preman yang tidak kenal aturan. Gagasan ini merendahkan institusi kepolisian sendiri yang dimandatkan UU sebagai penegak hukum,” tegas Arif saat dikonfirmasi, Jumat (18/9/2020). (Baca Juga: Koalisi Ingatkan, Asal Kritik Kebijakan PSBB Berpotensi Melawan Hukum)

Arif juga mengingatkan kebijakan penanganan pandemi di Jakarta tidak bisa berdiri sendiri, karena arus mobilitas dan transportasi terkoneksi dengan daerah penyangga di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Perlu integrasi kebijakan penanganan pandemi yang sistematik dan terintegrasi dengan kebijakan di daerah penyangga DKI Jakarta.

Tags:

Berita Terkait