Penjebakan pada Operasi Tertangkap Tangan KPK: Proses Hukum atau Tindakan Melawan Hukum?
Kolom

Penjebakan pada Operasi Tertangkap Tangan KPK: Proses Hukum atau Tindakan Melawan Hukum?

Penjebakan KPK terhadap Mulyana W. Kusumah merupakan suatu tindakan yang melawan hukum dan melanggar HAM.

Bacaan 2 Menit
Penjebakan pada Operasi Tertangkap Tangan KPK: Proses Hukum atau Tindakan Melawan Hukum?
Hukumonline

Definisi penyelidikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia ("KUHAP"), adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Kemudian apabila kita merujuk pada Pasal 1 angka 4 KUHAP, yang dimaksud dengan penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Saat ini, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ("UU KPK"), definisi penyelidik mengalami perluasan sehingga tidak terbatas pada POLRI sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 4 KUHAP. Mengapa? Karena dengan berlakunya UU KPK (Pasal 7), KPK juga berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana korupsi tertentu (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UUKPK). Artinya, untukkasus dugaan tindak pidana korupsi, penyelidik dapat berasal dari ​​kepolisian maupun KPK.

Tentunya kita masih ingat dengan operasi tertangkap tangan yang dilakukan oleh KPK terhadap Mulyana Wirakusumah pada tanggal 7 April 2005, di lantai dua, kamar 609, Hotel Ibis. Ketika itu, Mulyana menjabat Komisioner KPU ditangkap oleh KPK karena memberikan uang kepada Khairiansyah Salman. Mulyana memberikan uang kepada Khairiansyah agar auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)itubersedia mengubah hasil audit yang dilakukan oleh BPK atas proyek pengadaan barang/jasa di KPUtahun 2004. Pemberian uang yang dilakukan oleh Mulyana terhadap Khairiansyah tersebut pun direkam oleh kamera CCTV yang telah dipersiapkan oleh KPK sebelumnya. Lantas dimanakah letak permasalahannya?

Permasalahan pertama dan mendasar pada proses penangkapan Mulyana terletak pada teknik penjebakan yang dilakukan oleh KPK untuk memperoleh alat bukti rekaman CCTV. Ketika itu, KPK memperoleh rekaman CCTV atas penyerahan uang yang dilakukan oleh Mulyana terhadap Khairiansyah setelah bekerjasama terlebih dahulu dengan Khairiansyah. Bentuk kerjasama seperti yang dilakukan oleh KPK dengan Khairiansyah tersebut dikenal dengan teknik penjebakan (entrapment). Teknik penjebakan itu sendiri telah dikenal dan banyak digunakan oleh penyidik di berbagai negara, khususnya Amerika Serikat.

Di Indonesia, teknik penjebakan itu sendiri telah dikenal dalam mengungkap terjadinya tindak pidana narkotika yang biasa disebut dengan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung. Teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung secara tegas diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (UU Psikotropika) jo. Pasal 75 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Dengan demikian, pelaksanaan teknik penjebakan oleh penyidik dalam rangka penyidikan yang ditujukan untuk mengungkap terjadinya tindak pidana narkotika merupakan suatu tindakan yang sah dan tidak melawan hukum (lawful). 

Sedangkan pada tindak pidana korupsi, tidak ada satu peraturan perundang-undangan pun yang memberikan legitimasi bagi penyidik (baik Polri maupun KPK) untuk melakukan penjebakan dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi. Apabila kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak ada satu pasal pun yang memberikan legitimasi bagi penyelidik/penyidik untuk melakukan penjebakan dalam mengungkap terjadinya suatu tindak pidana korupsi.

Oleh karenanya, rekaman CCTV yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan pada kasus Mulyana merupakan alat bukti yang tidak sah dan seharusnya tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim.

Halaman Selanjutnya:
Tags: