Penjelasan Kejaksaan Soal Polemik Korupsi Di Bawah Rp50 Juta
Terbaru

Penjelasan Kejaksaan Soal Polemik Korupsi Di Bawah Rp50 Juta

Kejaksaan menekankan pada dampak yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi dengan kerugian di bawah Rp50 juta. Tapi, kebijakan ini ditentang KPK dan masyarakat sipil karena dinilai bertentangan dengan Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor.

Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit

"Negara kita adalah negara hukum. Selama hal tersebut tidak diatur dalam UU, kita sebagai penegak hukum tidak bisa berkreasi membiarkan korupsi di bawah Rp50 juta," kata dia.

Namun, Ghufron memahami gagasan Jaksa Agung ini karena proses penyelesaian perkara juga memakan biaya yang besar bisa lebih dari Rp50 juta. "Karena proses hukum harus juga mempertimbangkan cost and benefit. Sementara proses hukum kalau kita perhitungan biayanya dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai ke pengadilan banding dan kasasi biayanya tentu lebih besar dari Rp50 juta, sehingga saya memahami gagasan tersebut," katanya.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari mengingatkan para pelaku korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp50 juta tetap harus melalui proses pidana meski mengembalikan kerugian keuangan negara. “Kalau secara normatif, sebenarnya Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor sudah mengatur, meskipun ada pengembalian kerugian keuangan negara, tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak memproses pelaku secara pidana,” kata Tita, sapaan akrab Iftitah.

Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Karena itu, meski pengembalian kerugian keuangan negara bertujuan untuk mewujudkan pelaksanaan proses hukum yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, tapi caranya dinilainya kurang tepat.

Tita menegaskan ICJR pada prinsipnya mendukung upaya efektivitas sistem peradilan pidana dan penggunaan alternatif pemidanaan selain penjara untuk semua jenis tindak pidana, termasuk korupsi jika memang dimungkinkan. Akan tetapi, proses peradilannya, seperti penyidikan sampai pembuktian persidangan, tentu tetap harus sesuai due process.

“Ada otoritas hakim untuk memutus pelaku bersalah atau tidak bersalah, untuk menghindari tebang pilih juga dan memastikan pelaku bisa dijatuhi pidana secara proporsional,” kata dia.

Selain itu, menjalankan proses pidana juga bertujuan untuk memastikan keutuhan konstruksi perkara, sehingga seluruh fakta harus bisa diungkap di persidangan. “Sampai nanti hakim yang akan menentukan dengan mempertimbangkan semua bukti soal besanya kerugian negaranya, jadinya berapa?”

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga mengingatkan hingga saat ini Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor masih berlaku. Regulasi itu menyebutkan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pemidanaan pelaku tindak pidana. “Patut diingat mengembalikan dana hasil praktik korupsi hanya dapat dijadikan dasar meringankan tuntutan dan hukuman, bukan malah tidak ditindak,” kata Kurnia.

Kurnia menilai pernyataan Jaksa Agung perihal penghapusan pidana pelaku korupsi di bawah Rp50 juta jika mengembalikan kerugian keuangan negara kurang didasari argumentasi hukum yang kuat. Pernyataan Jaksa Agung RI seolah memberi jaminan bahwa para pelaku korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp50 juta tidak akan menjalani proses hukum. (ANT)

Tags:

Berita Terkait