Pentingnya Melanjutkan Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Berita

Pentingnya Melanjutkan Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Karena belum ada payung hukum yang khusus menangani persoalan korban kekerasan seksual. Negara perlu hadir mengingat minimnya akses penrlindungan bagi korban kekerasan seksual.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

RUU PKS diperlukan

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan kompleksnya pembahasan secara materil semestinya tak menjadi alasan dan halangan untuk menyelesaikan RUU PKS. Semestinya, kerumitan itu menjadi tantangan bagi DPR dan pemerintah untuk melindungi korban kekerasan seksual dan mengatasi persoalan kompleks ini.

“Maka negara harus hadir dalam perumusan kebijakan dan implementasinya. DPR harus segera menjamin pembahasan RUU PKS, tetap harus menjadi prioritas,” pintanya.

Sebelum masuk Prolegnas Prioritas 2020, RUU PKS memang dibahas DPR sejak 2016-2019 oleh DPR periode sebelumnya. Sayangnya, pembahasannya tak rampung akibat terjegal perdebatan panjang yang belum membahas substansinya secara mendalam. Lalu, DPR periode 2019-2024 kembali memasukan RUU ini dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 dengan status dibahas mulai dari nol. Hingga tahun 2020 ini, belum terdapat pembahasan resmi RUU PKS. “Namun kabar terakhir justru Komisi VIII DPR-RI menyatakan menarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020,” kata Eras.

Dia menilai pembahasan RUU PKS secara komprehensif diperlukan dengan beberapa alasan. Pertama, minimnya akses pendampingan bagi korban kekerasan seksual. Berdasarkan data BPS per tahun 2018, tercatat jumlah kasus perkosaan mencapai 1.288 kasus. Sedangkan kasus pencabulan tercatat 3.970. Setidaknya terdapat 5.247 kasus kekerasan seksual pada 2018, sedangkan pada tahun 2017 berjumlah 5.513 kasus.

Namun, berdasarkan laporan Tahunan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) per 2019, korban kekerasan seksual yang terlindungi hanya 507 orang. Padahal, berdasarkan catatan akhir tahun Komnas Perempuan per 2020, sepanjang 2019 terdapat 3.062 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik dan komunitas. “58 persen diantaranya adalah merupakan kasus kekerasan seksual,” kata dia.

Kedua, pemerintah abai atas pemulihan korban kekerasan seksual termasuk mengeluarkan pembiayaan korban kekerasan seksual terkait jaminan kesehatan. Dia mengingatkan Pemerintah pada 18 September 2018 lalu menerbitkan Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang tidak mengecualikan pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual.

Berdasarkan Perpres itu, luka akibat kekerasan tidak dikategorikan sebagai penyakit. Alhasil, sejak pemberlakuan Perpres tersebut, biaya visum et repertum dan pengobatan yang dijalani perempuan dan anak korban kekerasan tidak ditanggung negara. Kemudian Januari 2020, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengusulkan ke Presiden Jokowi untuk mengisi kekosongan dalam pembiayaan visum. Begitu pula pengobatan luka kekerasan menggunakan Dana Dekonsentrasi di Kementerian Kesehatan ataupun Dana Alokasi Khusus.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait