Pentingnya Pendekatan Humanis dalam Kebijakan Pemerintah Saat Pandemi
Berita

Pentingnya Pendekatan Humanis dalam Kebijakan Pemerintah Saat Pandemi

Kebijakan Pemerintah dalam keadaan darurat bukan alasan untuk menerapkan hukum represif. pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya diharapkan mampu menjamin penegakan HAM di era normal baru secara proposional.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Polri-TNI dilibatkan untuk menertibkan penerapan new normal di sejumlah titik keramaian. Foto: RES
Polri-TNI dilibatkan untuk menertibkan penerapan new normal di sejumlah titik keramaian. Foto: RES

Hak Asasi Manusia (HAM) ialah nafas dan ruh negara hukum yang demokratis. Konstitusi mengatur negara menjadi pemangku kewajiban (duty bearer) dalam pelaksanaan HAM itu yang berakar pada teori kontrak sosial Negara memegang tanggung jawab penting dalam upaya pemenuhan (fulfil), penghormatan (respect) dan perlindungan (protect) HAM.

Namun, dalam kondisi pandemi Covid-19 ini pembentukan regulasi dan kebijakan seringkali dilakukan dengan upaya represif tanpa berlandaskan HAM dan demokrasi. Misalnya, dalam situasi pandemi, kritik terhadap pemerintah, justru direspon dengan tindakan kriminalisasi, penindasan, intimidasi terhadap kalangan masyarakat yang kontra terhadap kebijakan pemerintah.

Hal ini dipaparkan oleh Pemakalah Chikita Edrini Marpaung dari Universitas Kristen Satya Wacana dalam Konferensi Nasional Online dan Call for Abstract bertajuk “Hak Asasi Manusia, Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan untuk Keilmuan Hukum dan Sosial,” pada 27-28 Juni 2020 melalui daring.  

Chikita menilai Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam isu penegakkan HAM dan Demokrasi. Di tengah kondisi pandemi semua pandangan dialihkan pada kebijakan-kebijakan yang hendak dipilih dan diambil oleh Pemerintahan. Penetapan status darurat kesehatan berimplikasi pada beberapa pembatasan atau derogasi yang juga diterapkan oleh Pemerintah termasuk pembatasan atas hak berkumpul dan berpendapat.

“Kebijakan Pemerintah dalam keadaan darurat bukan alasan untuk menerapkan hukum represif. Sebab, jika itu diterapkan upaya penegakkan hukum menjadi kabur dan menciptakan afirmasi dari masyarakat kepada aparat penegak hukum untuk dijalankan dengan dalih keadaan darurat,” kata Chikita, Sabtu (27/6/20202). (Baca Juga: Komunitas Hukum Bahas Kondisi HAM dan Lingkungan Saat Pandemi)

Ia menjelaskan berdasarkan Prinsip Siracusa (Komentar Umum No. 29) derogasi  diperbolehkan dengan syarat, negara wajib mempersempit pengurangan tersebut terhadap hal yang benar-benar diperlukan berdasarkan penilaian dan analisis objektif terhadap situasi yang dihadapi.

“Prinsip Siracusa adalah suatu tindakan tidak sepenuhnya dibutuhkan jika pembatasan biasa yang diizinkan pada ICCPR dianggap cukup untuk menghadapi situasi tersebut. Kemudian, ancaman yang dihadapi harus jelas, ada, sedang atau akan terjadi, dan tidak boleh diterapkan hanya karena kekhawatiran akan potensi bahaya.”

Baginya, hak masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara yang demokratis untuk menyampaikan kritik, saran dan masukan kepada pemerintah. Namun di tengah situasi Pandemi, kritik tersebut justru direspon dengan tindakan kriminalisasi, penindasan, intimidasi terhadap kalangan masyarakat yang kontra terhadap kebijakan pemerintah.

“Pengekangan terhadap akses hak atas kebebasan berkumpul, berserikat dan berpendapat dikenal dengan istilah shirnking civic space/closing civic space yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pengkerdilan/penutupan ruang sipil,” tegasnya.  

Pendekatan humanis

Tak semua masyarakat paham atas situasi dan kondisi ini. Keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap prinsip-prinsip penegakkan dan pembatasan HAM menjadi latar belakang penulisan ini. Menurutnya, masyarakat selaku pemegang kedaulatan tertinggi di tengah negara demokratis memiliki peran penting dalam upaya memutus rantai pengkerdilan ruang sipil masyarakat.

Menurut Chikita, dalam banyak kasus masyarakat sipil umumnya diberdayakan oleh konstitusi progresif untuk mempertahankan ruang demokrasi. Kelompok masyarakat yang heterogen bukan menjadi hambatan dalam upaya pengembalian kembali ruang-ruang kebebasan sipil yang telah dirampas oleh negara.

“Pendekatan represif yang dilakukan oleh negara dapat disandingkan dengan pendekatan humanis yang seharusnya diterapkan oleh negara. Pendekatan represif yang dilakukan oleh negara dapat disandingkan dengan pendekatan humanis yang seharusnya diterapkan oleh negara,” sarannya.

Selain itu, perlu ada mainstreaming issue bagi masyarakat terkait penerapan dan penegakkan HAM dan demokrasi. Meskipun muncul pola-pola baru dalam upaya pengkerdilan ruang sipil, namun konsolidasi masyarakat sipil untuk bergerak mengawal kepentingan rakyat dalam berbagai kebijakan menjadi penting sebagai bentuk koreksi atau antitesis dari situasi hegemonik.

Ia mengatakan dalam peraturan perundang-undangan sendiri tidak dapat mendefinisikan secara spesifik apa yang dimaksud dengan Pengkerdilan Ruang Sipil. Namun istilah ini sudah terlebih dahulu dikenal baik oleh negara-negara lain dengan istilah “shrinking civic space/restriction civic space”.

Di tengah kondisi darurat kesehatan yang mengafirmasi beberapa pembatasan (derogasi) yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat, butuh pisau analisis yang lebih luas guna menemukan pola dan bentuk apa saja yang digunakan oleh Pemerintah dalam upaya mempersempit ruang-ruang sipil masyarakat demokratis saat ini.

Terlebih, suatu regulasi yang dibentuk dan diterapkan oleh lembaga pemerintahan wajib memperhatikan kebutuhan masyarakat dan masyarakat berperan penting dalam upaya memutus rantai pengkerdilan ruang sipil sejalan dengan teori kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945.

“Dalam kondisi darurat pemerintahan Indonesia untuk menghentikan segala bentuk upaya pengkerdilan ruang sipil di tengah kondisi pandemi Covid-19, karena hukum yang represif tidak serta merta mengubah masyarakat,” ujarnya mengingatkan.  

Untuk itu, penting upaya pembentukan regulasi dan penegakkan hukum menggunakan pendekatan yang humanis dan berlandaskan atas hak asasi manusia. Selain itu, menjadi tugas bersama masyarakat dan lembaga masyarakat yang memiliki fokus pada isu penegakan hak asasi manusia guna memutus rantai pengkerdilan ruang sipil dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya Sonya Claudia Siwu mengatakan proporsional penegakkan HAM merupakan faktor penentu utama keberlangsungan pembangunan berkelanjutan Indonesia. Kebijakan-kebijakan selama masa pandemi, menurutnya belum mengarah pada upaya penegakan HAM secara proporsional.

“Konsep normal baru yang belum jelas dalam penyelenggaraan pemerintahan akan menimbulkan masalah dalam penegakkan HAM secara proporsional. Seharusnya, proporsionalitas penegakan HAM dengan menentukan prioritas,” ujar Sonya dalam kesempatan yang sama.

Sonya berharap pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya mampu menjamin penegakan HAM di era normal baru secara proposional. Keberlangsungan pembangunan berkelanjutan membutuhkan konsep normal baru yang jelas terkait penegakan HAM. “Hendaknya konsep normal baru diterapkan dengan  jelas dan tegas dalam kebijakan-kebijakan pemerintah,” katanya.

Tags:

Berita Terkait