Penundaan Pemilu Dinilai Bentuk Pelanggaran Konstitusi Serius
Utama

Penundaan Pemilu Dinilai Bentuk Pelanggaran Konstitusi Serius

Mendesak pemerintah dan DPR menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum dan taat kepada konstitusi dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. Pemilu harus tetap dilaksanakan setiap lima tahun sekali sesuai Konstitusi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Alasan kedaruratan sebagai pintu hukum terakhir hanya dapat dilakukan melalui deklarasi dalam waktu yang sangat terbatas, berdasarkan alasan konstitusional yang kuat, dan berpijak pada prinsip-pinsip hak asasi manusia. Ditambah lagi, efektivitas penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi hanya bisa ditangani dengan baik apabila keadaan politik stabil, yang mana penundaan pemilu justru berakibat sebaliknya.

Mengacu Pilkada tahun 2020 lalu, perhelatan demokrasi di tataran lokal itu tetap saja berjalan kendati pandemi belum berakhir. “Artinya, argumentasi soal pendemi untuk menunda pemilu merupakan alasan yang cenderung dibuat-dibuat dan dipaksakan,” ujar Hafiz.

Keempat, rencana amendemen UUD sebagai salah satu pintu masuk untuk melegalisasi penundaan pemilu adalah bentuk akal-akalan sebagian elit politik yang mencederai nilai-nilai Konstitusionalisme itu sendiri. Amendamen Konstitusi seharusnya dilakukan untuk dan atas dasar kehendak dan kepentingan rakyat. bukan atas dasar kehendak dan kepentingan segelintir elit politik untuk kepentingan jangka pendek mereka yang sangat pragmatis yang mengorbankan nilai-nilai Konstitusionalisme itu sendiri.

Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, mendesak pemerintah dan DPR menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum dan taat kepada konstitusi dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. Pemilu harus tetap dilaksanakan setiap lima tahun sekali sesuai Konstitusi. “Pelaksanaan pemilu dengan metode early voting ataupun electronic voting dapat dipertimbangan untuk efesiensi biaya pelaksanaan pemilu,” usulnya.

Al mendesak pemerintah untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi, serta menyelesaikan isu-isu publik yang mendesak lainnya. Agenda penundaan Pemilu 2024 merupakan bentuk pengingkaran pada cita-cita reformasi dan menjadi pintu masuk otoritarianisme baru yang akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi.

“Dengan demikian, agenda dan rencana penundaan Pemilu sudah semestinya dihentikan!”

Sebelumnya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015 Hamdan Zoelva berpandangan penundaan pemilu bentuk perampasan hak rakyat. Sebab, dalam Pasal 22E UUD 1945 secara tegas mengatur pelaksanaan Pemilu digelar per lima tahun. Jika ingin menunda Pemilu, maka mesti mengubah rumusan Pasal 22E sesuai ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Menurutnya, tak ada alasan moral, etik dan demokrasi menunda pemilu.

“(Jika menunda Pemilu) Dapat dikatakan merampas hak rakyat memilih pemimpinnya 5 tahun sekali. Tapi kalau dipaksakan dan kekuatan mayoritas MPR setuju, siapa yang dapat menghambat. Putusan MPR formal sah dan konstitusional. Soal legitimasi rakyat urusan lain,” ujarnya melalui akun twitternya, Sabtu (27/2/2022) pekan lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait