Penyebab Bencana Alam, Ini Pandangan Koalisi Masyarakat Sipil
Utama

Penyebab Bencana Alam, Ini Pandangan Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi menilai bencana yang terjadi buah dari maraknya penerbitan izin usaha pertambangan, kelapa sawit, kayu, bagi korporasi. Pemerintah harus mengevaluasi izin yang berkontribusi menyebabkan banjir dengan melakukan penegakkan hukum, seperti pencabutan izin, pidana, dan perdata. Dilanjutkan dengan moratorium untuk kegiatan usaha sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi bencana banjir. Foto: RES
Ilustrasi bencana banjir. Foto: RES

Memasuki awal tahun 2021, sejumlah wilayah di Indonesia dilanda bencana salah satunya banjir di Kalimantan Selatan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat meninjau lokasi banjir di Kalimantan Selatan, Senin (18/1/2021) lalu. Dalam kunjungan tersebut, Jokowi mengatakan ini merupakan banjir besar yang lebih dari 50 tahun tidak terjadi di provinsi Kalimantan Selatan.

Menurutnya, curah hujan tinggi berlangsung hampir 10 hari berturut-turut, sehingga daya tampung sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik sekarang masuk air sebesar 2,1 miliar meter kubik, sehingga air meluap. Banjir di Kalimantan Selatan menyebabkan beberapa infrastruktur rusak, seperti jembatan runtuh dan membuat puluhan ribu warga berada di pengungsian.

“Hampir 20 ribu masyarakat berada dalam pengungsian,” kata Jokowi sebagaimana dilansir setkab.go.id, Senin (18/1/2021) lalu. (Baca Juga: Penjelasan Hukum Soal Tanggung Jawab Pemerintah atas Bencana Alam)

Namun kalangan organisasi masyarakat sipil punya pendapat berbeda mengenai berbagai bencana yang terjadi. Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, mengatakan bencana terjadi karena kombinasi berbagai ancaman. Ada ancaman alami, misalnya hidrometeorologis dan cuaca ekstrim. Tapi dengan teknologi yang ada berbagai ancaman alamiah itu bisa diprediksi, sehingga dapat dilakukan pencegahan.

Perempuan yang disapa Yaya itu menyoroti ancaman lain yang berkontribusi terhadap timbulnya bencana yakni pengelolaan sumber daya alam secara tidak adil. Dia mencatat dari 60 persen perizinan yang terbit untuk wilayah daratan dimiliki oleh korporasi. Masyarakat yang berada di wilayah konsesi perizinan itu kerap diusir karena dianggap tidak mengantongi izin sekalipun mereka telah menetap di wilayah itu secara turun temurun.

Yaya berpendapat bencana ekologis seperti banjir di Kalimantan Selatan akan terus berulang karena akar persoalan tak pernah dituntaskan, salah satunya yakni banyaknya izin untuk industri seperti pertambangan dan perkebunan sawit. Luas perkebunan sawit tahun 2019 mencapai 16,3 juta hektar atau setara 1,2 kali luas pulau Jawa.

Cuaca ekstrim seperti curah hujan tinggi merupakan dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim. Yaya menyebut Indonesia termasuk negara yang menyumbang peningkatan pemanasan global karena penggundulan hutan, penghancuran gambut, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), pertambangan batubara, dan pembakaran batubara di PLTU terus terjadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait