Peradilan Etika Pemilu: Really? Seriously?
Kolom

Peradilan Etika Pemilu: Really? Seriously?

Perlu diadakan forum peradilan permanen untuk mengadili anggota KPU melalui lembaga ajudikasi formal yang dibentuk sesuai perintah konstitusi.

Bacaan 8 Menit

Etika, Ethos dan Nomos

Kemudian, kita mesti masuk ke ruang berikut ini: apakah orang-orang yang duduk dalam jabatan (Pejabat) yang ada dalam organ tersebut “mengenal” etika? Ini karena menurut UU Pemilu, ada organ DKPP yang bertugas menangani pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU sebagai salah satu penyelenggara Pemilu.

Secara historis, tidak ada makna tunggal yang merepresentasikan definisi etika. Dalam tradisi Yunani Kuno, terma etika dikenal dengan sebutan ethos. Ethos bisa berarti karakter. Namun, di sisi lain, ethos diartikan sebagai kebiasaan. Dalam tradisi Romawi, terma ethikos, yang merupakan kata sifat ethos, diadopsi ke dalam bahasa Latin menjadi moralis, yang artinya pun sama: kebiasaan. Di dalam bahasa Inggris, terma tadi kemudian diadopsi menjadi mores, yang artinya pun sama: kebiasaan. Mengingat, yang kita akan bicarakan di sini adalah berkisar hukum, maka pengertian etika sebagai kebiasaan lah yang diambil. Bukan etika sebagai karakter.

Walau terma etika dan moral nampak berkelindan (ethikos, moralis), masih terdapat perbedaan fundamental di antara mereka: etika menaruh perhatian pada aspek pribadi, sementara moral malah menaruh perhatian pada kepentingan orang lain. Maka itu, diskursus etika dan hukum tidak pernah menjadi tema sentral di antara para ahli hukum modern, seperti John Austin, Gustav Radbruch, Hans Kelsen, Lon F. Fuller, H. L. A. Hart, Joseph Raz dan lainnya. Saya melihat, para ahli hukum itu seperti “tidak menganggap ada” etika (ethikos). Ini bisa dimengerti karena mereka diberi label sebagai para pemikir positivis. Label itu memberikan tuduhan: mereka adalah penolak kebiasaan, yang ada hanyalah hukum positif.

Sekalipun demikian, mereka yang saya sebutkan namanya di atas tidak sama sekali membahas soal moral. Diskursus yang ada di antara mereka justru berkisar hukum dan moral; bagaimana moral berhubungan dengan hukum, dan juga sebaliknya. Ini karena moral (moralis) secara filosofis berbicara “kepentingan orang lain” (dalam bentuk kewajiban). Ini secara hakiki serupa dengan hukum. Hukum juga membahas soal kepentingan orang lain, sambil mengutamakan kepentingan pribadi (dalam bentuk hak).

Yang perlu sekali diterangkan di sini, sekalipun ethos adalah kebiasaan, nampaknya ada persepsi berbeda dengan para ahli hukum Indonesia soal kebiasaan sebagai sumber hukum (formal). Para ahli hukum Indonesia kerap kali mengatakan kebiasaan sebagai perilaku ajeg. Arti ini sesungguhnya masih ambigu. Ini karena seperti disamakan dengan tradisi. Padahal dalam ilmu hukum, kebiasaan jikalau dianggap sebagai sumber hukum, itu artinya kebiasaan-kebiasaan yang dikenal dalam hukum. Ini bisa dilihat misalnya dalam kebiasaan peradilan, seperti yang diungkapkan oleh H. L. A. Hart. Kebiasaan ini bukanlah tradisi, bagaikan warisan masyarakat secara turun-temurun.

Aristoteles maka itu membedakan dua kebiasaan. Pertama adalah kebiasaan yang habitual, suatu kebiasaan yang alamiah. Ini yang kemudian disebut sebagai ethos. Aristoteles malah mengatakan, walau Anda bisa saja tidak setuju, kebiasaan yang alamiah (ethos) bisa turut memengaruhi hewan/binatang. Ini karena sifat alamiahnya yang memengaruhi kebiasaan tersebut. Kedua, di sisi lain, ada kebiasaan yang conventional, yang oleh Aristoteles sebut: nomos. Disebut demikian oleh Aristoteles, karena kebiasaan terakhir ini berhadapan dengan kehendak hukum yang rasional. Mungkin, kebiasaan conventional ini yang dianggap sebagai kebiasaan sebagai sumber hukum di mata para ahli hukum Indonesia. Saya hanya bisa mengatakan demikian, karena beberapa literatur yang saya baca memberikan indikasi seperti itu, tanpa menyebutkan terma kebiasaan conventional secara lugas.

Organ dan Jabatan dalam KPU Beretika?

Prapaham-prapaham di atas membawa saya pada beberapa refleksi kritis berikut ini. Pertama, KPU dan jabatan-jabatan di dalamnya jelas bukan naturlijk persoon. Mereka semua rechtspersoon atau jabatan, yang hadir karena perintah konstitusi, dan dikuatkan dengan undang-undang. Rechtspersoon atau jabatan jelas tidak memiliki etika atau kebiasaan habitual. Hanya naturlijk persoon yang memiliki kebiasaan habitual, karena memenuhi syarat rasional untuk mengenal etika. Lantas apakah masuk akal membuat kode tentang kebiasaan habitual (etik) untuk subjek hukum yang dilahirkan oleh konstitusi atau undang-undang?

Tags:

Berita Terkait