Peradilan yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Reformasi Peradilan:

Peradilan yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana yang menghubungkan kemudahan berusaha dengan waktu penyelesaian sengketa di pengadilan semakin intens dibahas.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Pungli Layanan Pengadilan Mesti Jadi Perhatian MA)

 

Berdasarkan data yang dihimpun dari Mahkamah Agung, terungkap perkara gugatan sederhana yang diadili pengadilan negeri tahun 2016 mencapat 759 perkara. Pengadilan telah memutus 630 perkara, sehingga sisa di akhir tahun 2016 berjumlah 129 perkara. Sebagian perkara yang menggunakan mekanisme SCC adalah perbuatan melawan hukum (142 perkara) dan ingkar janji (162). Sementara yang mengajukan upaya hukum keberatan sebanyak 42 perkara. Tabel berikut ini memperlihatkan 10 wilayah pengadilan tinggi terbanyak yang pengadilan negerinya menangani perkara gugatan sederhana.

 

Tabel-10 Wilayah Pengadilan Tinggi Terbanyak Gugatan Sederhana Tahun 2016

No.

Wilayah Pengadilan Tinggi

Jumlah Perkara

Putus

01.

Surabaya

167

125

02.

Bandung

152

128

03.

Pekanbaru

67

54

04.

Semarang

49

44

05.

Medan

46

43

06.

Makassar

29

26

07

Padang

28

26

08.

Jakarta

25

21

09.

Banten

24

18

10.

Tanjung Karang

21

21

Sumber: Diolah dari data MA Tahun 2016.

 

Asas cepat berkaitan dengan waktu penyelesaian suatu perkara. Ini juga berkaitan dengan upaya hukum yang ditempuh para pihak. Jika salah satu pihak menempuh upaya hukum biasa (banding dan kasasi) atau luar biasa (peninjauan kembali) berarti waktu yang dibutuhkan menyelesaikan perkara semakin panjang. Berkaitan dengan waktu, dalam peradilan khusus seperti kepailitan dan kekayaan intelektual telah ditentukan Undang-Undang batas waktu penyelesaiannya. Demikian pula batas waktu menyatakan upaya hukum dan menyerahkan memori upaya hukum terkait. Melewati batas waktu yang telah ditentukan bisa menimbulkan konsekuensi hukum.

 

Salah satu buktinya adalah putusan (yurisprudensi) Mahkamah Agung No. 2671K/Pdt/2001 tanggal 4 Juli 2003. Kaidah hukum dalam yurisprudensi ini berkaitan dengan penggabungan gugatan 53 orang yang berkepentingan demi prinsip peradilan cepat, murah dan biaya ringan. Mahkamah menyatakan meskipun kedudukan para penggugat berbeda (ahli waris pemilik lahan, dan ahli waris petani penggarap), tetapi sama-sama berkepentingan atas objek sengketa, demi tercapainya peradilan yang cepat, murah dan biaya ringan cukup beralasan para penggugat bersama-sama dan sekaligus mengajukan gugatan.

 

(Baca juga: MA Sebut Tahun 2017 Sebagai Pembersihan Oknum Peradilan)

 

Di internal Mahkamah Agung, perbaikan juga dilakukan untuk mempercepat penyelesaian perkara. Salah satunya melalui pembacaan serentak oleh majelis yang sudah dimulai sejak tahun 2013. Jika selama ini perkara dibaca secara bergiliran antara pembaca (I, II dan III), kini anggota majelis membaca perkara secara bersamaan. Mekanisme ini meningkatkan produktivitas Mahkamah Agung memutus perkara.

 

Produktivitas memutus perkara dari sisi waktu juga bisa dilihat dari rasio memutus perkara, rasio menyelesaikan perkara, atau rerata waktu yang dibutuhkan hakim agung memutus perkara. Sekadar contoh, beban perkara Mahkamah Agung tahun 2016 berjumlah 18.580 perkara, terdiri dari sisa perkara tahun 2015 sebanyak 3.950 dan perkara masuk 14.630. Mahkamah Agung telah memutus sebanyak 16.223 perkara pada tahun berjalan, sehingga ketika memasuki tahun 2017 sisa perkara berjumlah 2.357 perkara. Rasio jumlah perkara yang telah diputus dengan jumlah beban perkara (rasio produktivitas memutus perkara) adalah sebesar 87,31 persen, sedangkan rasio sisa perkara sebesar 12,69 persen. Angka ini mencapai target 70 persen, dan ada peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya (78,53 persen). Mahkamah Agung juga membuat laporan tentang rasio penyelesaian perkara (clearance rate) yakni selisih jumlah perkara yang diterima dan dan diselesaikan pada tahun berjalan. Jika perkara yang diselesaikan lebih banyak dibanding perkara yang masuk maka berarti rasio penyelesaian perkara di atas seratus persen.

 

Rasio dengan pola yang sama bisa dikaji dan diterapkan pada semua tingkat peradilan dengan rumus sederhana: menggabungkan beban perkara, jumlah perkara yang diselesaikan. Adapun rerata dihitung berdasarkan jumlah perkara yang diputus dibagi waktu yang dibutuhkan sejak perkara di tangan majelis hingga diputus. Misalnya, tahun 2016, ada 13.100 perkara yang diputus Mahkamah Agung kurang dari tiga bulan; 2.117 perkara diputus dalam rentang waktu 3-6 bulan; 865 perkara diputus dalam rentang waktu 6-12 bulan; 116 perkara antara 12 sampai 24 bulan; dan di atas 24 bulan sebanyak 25 perkara. Laporan Tahunan MA menunjukkan bahwa pada tahun 2016 sebagian besar (80,75 persen) perkara diputus dalam rentang waktu 0-3 bulan.

Tags:

Berita Terkait