Perjanjian Perkawinan Tetap Bisa Dibuat Selama dalam Ikatan Perkawinan
UU Perkawinan:

Perjanjian Perkawinan Tetap Bisa Dibuat Selama dalam Ikatan Perkawinan

Semua putusan MK berlaku final dan mengikat setara dengan undang-undang. Tidak harus dimuat dalam revisi undang-undang terkait untuk memiliki daya laku dan daya ikat.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Dispensasi Perkawinan Tetap Dimungkinkan, Begini Syaratnya Menurut UU Perkawinan Baru).

Perlu diingat, dampak hukum dari perkawinan campuran adalah hilangnya sebagian hak kebendaan pihak dari warga negara Indonesia. Terutama yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan properti. UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria melarang warga negara asing memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Guna Bangunan. Padahal ada konsep percampuran harta yang diperoleh setelah perkawinan dalam UU Perkawinan. Artinya, suami/istri yang warga negara asing ikut menjadi pemilik atas harta bersama tersebut.

Itu sebabnya suami/istri yang warga negara Indonesia kehilangan haknya untuk Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Guna Bangunan di Indonesia.  Alasannya karena akan menjadi bagian dari harta bersama yang dimiliki bersama pasangan warga negara asing. Jalan keluarnya adalah membuat perjanjian perkawinan yang mengatur pemisahan harta dalam perkawinan. Sebelum ada Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015, perjanjian ini hanya bisa dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Padahal banyak pasangan yang baru menyadari konsekuensi perkawinan campuran setelah terikat dalam perkawinan.

Shanti, Kepala Sub Direktorat Fasilitasi Pencatatan Perkawinan dan Perceraian menjelaskan yang senada dengan Jimly. Sejak tahun 2017, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri telah menyusun petunjuk pelaksanaan putusan MK. “Sudah cukup pranata yang mengatur pelaksanaannya terlepas dari revisi UU Perkawinan saat ini tidak memuatnya,” kata Shanti. Petunjuk pelaksanaan itu telah disosialisasikan ke unit pelaksana teknis di seluruh Indonesia.

Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL bertanggal 19 Mei 2017 menyebutkan perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama perkawinan berlangsung dengan akta notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana. Selanjutnya penjabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau Instansi Pelaksana akan membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan.

Mengenai tidak dimuatnya dua isi putusan lainnya, Jimly menduga karena ada perbedaan isi amar putusannya. “Dua putusan lainnya tidak berdampak mengubah pasal seperti dicabut atau dikurangi, yang ada kandungan makna dari pasal itu berubah setelah diberi tafsir oleh MK,” Jimly menjelaskan.

Isi amar putusan-putusan MK tersebut memang tampak seperti penjelasan Jimly. Putusan MK No.22/PUU-XV/2017 secara tegas membatalkan kekuatan hukum syarat usia minimal 16 tahun untuk perempuan. Selain itu, ada perintah MK agar pembuat undang-undang membuat revisi syarat usia dalam UU Perkawinan paling lama tiga tahun sejak putusan dijatuhkan.

Berbeda dengan Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 soal anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015 soal perjanjian perkawinan yang memberikan tafsir baru atas isi pasal terkait. Tidak ada perintah dalam amar agar pembuat undang-undang memasukkan muatan isi putusan ke dalam revisi UU Perkawinan.

Anggota Komisi VIII DPR yang hadir di acara, Diah Pitaloka, menjelaskan bahwa DPR fokus pada isu pernikahan dini. “Memang tidak masuk dalam Prolegnas. Jadi kami coba revisi terbatas mengikuti putusan MK. Fokus penyelamatan usia nikah anak perempuan,”  katanya. Ia menolak tudingan bahwa DPR lupa pada dua putusan MK lainnya untuk dimuat dalam revisi UU Perkawinan.

Tags:

Berita Terkait