Perlindungan Pemegang Saham Publik atas Penerapan Multiple Voting Shares
Kolom

Perlindungan Pemegang Saham Publik atas Penerapan Multiple Voting Shares

Terdapat enam aspek yang diatur dalam POJK 22/2021 untuk melindungi pemegang saham publik.

Bacaan 6 Menit
Irfan Triawan. Foto: Istimewa
Irfan Triawan. Foto: Istimewa

Pasar modal merupakan salah satu sarana pendanaan yang dapat digunakan perusahaan dalam jangka panjang melalui penjualan sahamnya. Tentunya, laku atau tidaknya suatu saham perusahaan dipengaruhi oleh kinerja dan nama baik dari perusahaan tersebut. Biasanya, perusahaan dengan kredibilitas baik yang membutuhkan permodalan jangka panjang seperti Meta (d/h Facebook), Alphabet (d/h Google), dan Alibaba mencatatkan sahamnya di bursa efek.

Di balik itu semua, kebutuhan pendanaan secara terus-menerus rupanya dapat menjadi hambatan. Ketika perusahaan meraih pendanaan dengan menjual sahamnya kepada publik, secara otomatis pengendali atau founder harus menyetorkan jumlah modal sesuai dengan proporsi saham yang akan dipertahankan. Jika tidak, maka pengendalian atas perusahaan akan beralih kepada pihak yang memiliki saham terbanyak, sesuai prinsip one share one vote (OSOV).

Dengan latar belakang demikian, perusahaan raksasa tersebut menerapkan saham dengan hak suara multipel (multiple voting shares/MVS), di mana founder atau pengendali perusahaan memiliki hak suara yang berkali-kali lipat dibandingkan dengan pemegang saham biasa. Hal itu yang membuat Mark Zuckerberg, Larry Page, Sergey Brin, dan Jack Ma, dapat selalu menjadi ujung tombak kebijakan strategis perusahaan tersebut. Di sisi lain, penerapan MVS ini juga sudah didukung dengan perangkat aturan di tempat mereka melakukan IPO.

Meta misalnya, Mark Zuckerberg sebenarnya hanya memiliki 13% ekuitas Meta. Namun dengan rasio MVS sebesar 10 hak suara dalam tiap lembar saham, hak suaranya dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat lebih dari 53% (SEC, 2019). MVS membuat dirinya tidak perlu menyetorkan modal sebanyak pemegang saham biasa ketika Meta melakukan IPO dan penambahan modal dari pemegang saham.

Absennya pengaturan seperti MVS juga telah merugikan Bursa Efek di negara Singapura. Bagaimana tidak, pada tahun 2012 perusahaan sepak bola raksasa sekelas Manchester United berniat untuk melantai di Bursa Efek Singapura dengan valuasi penawaran saham sebesar US$655 juta namun ditolak.

Penolakan tersebut disebabkan karena otoritas Singapura tidak memperbolehkan pemilik dan pengendali Manchester United pada saat itu, Malcolm Glazer, untuk menerapkan MVS. Pada akhirnya, Manchester United melakukan IPO di Hong Kong Stock Exchange yang membolehkan penerapan MVS. Pada tahun 2018, akhirnya Singapura membolehkan penerapan MVS di negaranya. 

Di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan dengan karakter kebutuhan modal yang besar dan terus-menerus, serta didominasi oleh peran founder dalam perkembangan bisnisnya. Dilihat dari peran perusahaan tersebut terhadap perekonomian di Indonesia, sangat pantas apabila mereka menyandang gelar new-economy.

Tags:

Berita Terkait