Perlu Digagas UU Rekrutmen Jabatan Publik
Konferensi HTN II:

Perlu Digagas UU Rekrutmen Jabatan Publik

Selain amandemen UUD 1945, perlu membenahi sejumlah Undang-Undang terkait rekrutmen pengisian pimpinan lembaga negara/komisi negara itu.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Denny Indrayana, Todung Mulya Lubis, dan Saldi Isra dalam acara Konferensi HTN, Padang, Sabtu (12/9). Foto: ASH
Denny Indrayana, Todung Mulya Lubis, dan Saldi Isra dalam acara Konferensi HTN, Padang, Sabtu (12/9). Foto: ASH
Sejumlah aturan mekanisme seleksi pimpinan lembaga dan komisi negara independen (jabatan publik) dinilai masih memiliki sejumlah kelemahan baik dari sisi konsep kelembagaan, persyaratan, mekanisme seleksi, wewenang, maupun pelaksanaannya. Sebab, belum ada standar seleksi yang sesuai dengan kebutuhan jabatan publik yang dimaksud karena sejumlah aturan itu masih menginduk kepada Undang-Undang kelembagaan (sektoral) masing-masing.

Bahkan, beberapa lembaga negara independen belum memiliki aturan teknis yang mengatur mekanisme seleksi lebih rinci dan komprehensif. Di sisi lain, ada lembaga yang proses mekanisme seleksinya sudah dianggap cukup, sehingga hanya sedikit memerlukan beberapa perbaikan. Untuk itu, pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah diminta memikirkan untuk menyusun sebuah Rancangan UU Sistem Seleksi Jabatan Publik.

Harapan ini mengemuka dalam sesi seminar dengan topik “Proses Seleksi Pimpinan Lembaga Negara dari Ius Constitutum ke Ius Constituendum” dalam Konferensi Hukum Tata Negara Kedua yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas di Hotel Bumi Minang, Padang, Sumatera Barat, Sabtu (12/9). Hadir sebagai narasumber tiga pakar hukum kondang yakni Saldi Isra, Denny Indrayana, dan Todung Mulya Lubis.

Saldi menuturkan upaya ke depan yang mesti didorong menyusun Rancangan UU Seleksi Pejabat Publik agar semuanya ada standarisasi dengan melibatkan lembaga perwakilan yakni DPR dan DPD. Tentunya, keterlibatan dua lembaga ini mesti diatur dalam perubahan perubahan kelima UUD 1945 seperti yang digagas DPD. Sebab, selama ini proses rekrutmen komisi negara independen lebih banyak peran DPR.

“Satu-satunya seleksi jabatan publik perlu pertimbangan DPD hanya pemilihan calon Anggota BPK. Bahkan, konstitusi Thailand terbaru soal KPK sudah diatur dalam konstitusi termasuk mekanisme seleksinya,” paparnya.

Saldi mengingatkan harus dibedakan antara lembaga/komisi negara eksekutif (executive agency) dan lembaga negara/komisi independen karena berpengaruh proses pengangkatannya. Seperti pengangkatan menteri, kepala BNPB, Kepala Staf Kepresidenan oleh presiden merupakan lembaga eksekutif.

“Pimpinan lembaga/komisi eksekutif tugasnya hanya membantu presiden, sehingga hak prerogatif presiden bagaimana proses pengisian jabatan itu,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini.

Untuk diketahui, secara teoritis, beberapa lembaga negara yang disebut konstitusi dibagi dua kelompok yakni organ politik dan organ nonpolitik. Organ politik yakni presiden, DPR, DPD, DPRD, kepala daerah,  pengisian jabatan melalui proses pemilihan umum. Sementara organ nonpolitik seperti MA, MK, KY, BPK yang pengisian jabatannya melalui proses seleksi dengan melibatkan DPR. Di luar itu, lembaga/komisi independen pengisian jabatan bisa melalui seleksi dengan pelibatan DPR atau penunjukan oleh presiden (chief agency).

Menurutnya, secara teoritis, proses pengisian jabatan lembaga/komisi independen (mandiri) dilaksanakan satu lembaga dan setidaknya melibatkan dua institusi lain demi menjalankan fungsi check and balances. Di Indonesia, sistem ini sudah dilaksanakan presiden dengan melibatkan DPR dalam proses pengisian di komisi negara independen. Dia mengakui, dalam praktiknya, kuasa presiden terbatas dalam menentukan calon komisioner independen karena sudah dialihkan ke Panitia Seleksi (Pansel).

“Posisinya sangat terbatas karena tidak ada ruang mengubah nama-nama yang dihasilkan Pansel. Sepengalaman saya hampir tidak ada komunikasi antara Pansel dan presiden, kecuali mandat awal yang mengarahkan figur yang diminta presiden, berbeda dengan DPR,” ungkapnya.

Amandemen UUD 1945
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD dalam kata pembuka, menilai proses rekrutmen yang bagus saat ini yakni seleksi Komisioner Komisi Yudisial (KY). Seleksinya dilakukan Panitia Seleksi (Pansel) independen bentukan presiden, kemudian presiden mengusulkan ke DPR, lalu DPR memutuskan menerima atau menolak.

“Kalau KPK paling rawan (dipolitisasi) karena usulannya masih dua kali lipat dari jumlah kebutuhan (model pemilihan, red), bisa saja DPR yang selama ini ‘nyerang’ KPK tidak akan memilih figur Komisioner KPK sebelumnya,” kata Mahfud.

Menurutnya, beragam persoalan dalam seleksi lembaga/komisi independen sebaiknya diawali dengan amandemen kelima UUD 1945. Hal ini untuk mengurangi peran DPR terlalu besar menentukan pimpinan lembaga negara/komisi independen agar DPR bisa lebih fokus pada pengawasan. Diharapkan, seleksi pimpinan komisi independen tidak perlu melibatkan DPR. DPR cukup membentuk Pansel Independen, seperti Pansel bentukan Presiden Jokowi.

“Jangan diartikan ketika diminta ‘pertimbangan’ atau ‘persetujuan’, DPR menentukan pemenangnya, jangan mewawancarai macam-macam sambil minta uang,” pintanya.

Untuk ini, perlu amandemen UUD 1945. Tetapi, mengubah UUD 1945 tidak mudah karena prosesnya panjang dan harus dilakukan satu paket dengan usulan sepertiga anggota MPR.

Alternatif lain, usul Mahfud, membenahi sejumlah Undang-Undang terkait rekrutmen pengisian pimpinan lembaga negara/komisi negara itu. Namun, terkadang melalui perubahan UU pun bisa dijadikan komoditas ekonomi. “Nanti, orang yang berkepentingan disuruh bayar, kalau kita pesan pasal begini, harganya sekian. Saya pernah membatalkan Undang-Undang karena alasan itu,” ungkapnya.
Tags:

Berita Terkait