Perlu Kamar Khusus Pengadilan Pertanahan
Berita

Perlu Kamar Khusus Pengadilan Pertanahan

Presiden harus mempersiapkan kebijakan maupun kelembagaan yang diperlukan.

CR15
Bacaan 2 Menit

“Kalau lurah tidak mau datang hakim bisa meminta polisi datang menjemput,” katanya.

Elza mengaku, idenya tersebut sudah masuk dalam Pasal 216 RUU Hak-hak Atas Tanah. Tetapi perdebatannya kemudian berkembang, apakah pengadilan tanah apa pengadilan agraria. “Menurut saya sebaiknya mengenai tanah saja dulu.Kalau agraria sebenarnya bagus, hanya saja terlalu luas.Bisa jadi malah nanti sampai kiamat belum tentu berhasil,” ucapnya.

Direktur Sajogyo Institute Noer Fauzi Rachman mengatakan, selama ini masyarakat hukum adat merupakan konflik yang tidak banyak diurus pengacara. Masyarakat tidak punya hak kepemilikan tanah yang berada di dalam hutan negara. “Jangankan untuk ikut menentukan izin yang dikeluarkan kementerian kehutanan, untuk hidup di wilayah itu saja mereka tidak punya hak,” tuturnya.

Terhadap hal itu, tanggal 16 Mei 2013 lalu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan atas perkara No. 35/PUU/X/2012. Dalam putusan itu, MK melakukan ralat dengan mencoret kata negara pada pasal 1 ayat (6) sehingga implikasinya, rakyat menjadi penyandang hak atas tanah mereka yang berada di wilayah hutan.

“Presiden harus membuat badan khusus yang menerima klaim rakyat dan mempersiapkan kebijakan maupun kelembagaan yang diperlukan, termasuk lembaga peradilan khusus,” tegasnya.

Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriadi, sengketa tanah bukan hanya persoalan terlanggarnya HAM tetapi juga tidak terpenuhinya hak warga negara. Padahal, menurutnya ketimpangan penguasaan tanah menjadi sumber kemiskinan di pedesaan. Persoalan sengketa klaim mewarnai semua konflik agraria.

“Hal ini akibat ideologi pembangunan yang menyengsarakan. Kebijakan ekonomi terlalu berorientasi pada pertumbuhan, terlalu memfasilitasi industri ekstraktif dengan sangat luas,” katanya.

Tags:

Berita Terkait