Perlu Strategi Pendidikan Anti Kekerasan untuk Anak Usia Dini
Terbaru

Perlu Strategi Pendidikan Anti Kekerasan untuk Anak Usia Dini

Guru dan orang tua dapat melakukan sosialisasi terhadap nilai-nilai anti kekerasan pada anak usia dini dengan berbagai cara, seperti bercerita atau mendongeng, melalui alat permainan, maupun melalui musik.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi kekerasan terhadap anak
Ilustrasi kekerasan terhadap anak

Pendidikan anti kekerasan perlu diberikan kepada anak sejak usia dini. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan perlu strategi dalam memberikan pendidikan anti kekerasan untuk anak usia dini. Anak termasuk kelompok rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) periode Januari-Desember 2022 terdapat 1.664 anak usia kurang dari 6 tahun yang menjadi korban kekerasan. Mengacu data itu Bintang menekankan perlunya dukungan dari berbagai pihak untuk berpartisipasi mencegah kekerasan terhadap anak.

Menurut Bintang, guru dan orang tua dapat melakukan sosialisasi terhadap nilai-nilai anti kekerasan pada anak usia dini dengan berbagai cara, seperti bercerita atau mendongeng, melalui alat permainan, maupun melalui musik. “Menggunakan berbagai metode yang ada dapat membentuk kepribadian maupun perkembangan emosi anak, sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak,” kata Bintang Puspayoga sebagaimana dilansir laman Kementerian PPPA, Senin (16/1/2023).

Untuk penanganan kasus, Bintang menyebut pihaknya telah menyediakan hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) sebagai layanan pengaduan dan perlindungan bagi perempuan dan anak. “Bagi Ibu/Bapak sekalian yang mengalami, mendengar, atau mengetahui kasus kekerasan yang menimpa perempuan maupun anak dapat langsung menghubungi (021) 129 atau melalui WhatsApp 08111-129-129,” ujar Bintang.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menegaskan satuan PAUD harus menjadi lingkungan belajar yang menyenangkan, inklusif, dan bebas dari segala bentuk kekerasan. “Sejak pertama kali kami meluncurkan Merdeka Belajar, saya menekankan bahwa sistem kita harus bebas dari 3 dosa besar, meliputi perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual,” ujarnya.

Nadiem menjelaskan kekerasan di lingkungan pendidikan menjadi perhatian utama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mengingat hal tersebut dapat berdampak buruk terhadap proses belajar anak. “Anak-anak yang mengalami kekerasan mengalami trauma berkepanjangan. Akibatnya mereka takut pergi ke sekolah, tidak semangat belajar, dan pada akhirnya kehilangan kesempatan untuk menggapai cita-citanya,” paparnya.

Menurut Nadiem, pihaknya terus mendorong pencegahan dan penanganan 3 dosa besar melalui kampanye edukasi anti kekerasan serta penegakan hukum. “Pada 2022, kami menangani 6 kasus 3 dosa besar di sejumlah sekolah. Jumlah ini tentunya masih sangat sedikit dibandingkan dengan kasus kekerasan yang terjadi di lapangan. Dalam hal ini, saya membutuhkan kolaborasi kita semua untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan,” tutur Nadiem.

Deputi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Warsito menyebutkan pendidikan anti kekerasan di satuan PAUD harus menjadi komitmen bersama seluruh pihak sebagai upaya menyiapkan generasi emas. “Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2022, kurang lebih 11,21 pensen penduduk Indonesia berusia 0 sampai 6 tahun dan ini adalah usia emas yang tentunya hak-hak anak harus terpenuhi, sehingga risiko kerentanan anak masuk ke dalam kategori anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK) akan menurun,” ujar Warsito.

Warsito menerangkan beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, seperti eksploitasi ekonomi; eksploitasi seksual; anak menjadi korban pornografi; korban penculikan; dan lain sebagainya. “Ini semua tentu menjadi bagian konsentrasi dan komitmen kita bersama, sehingga kekerasan baik secara fisik maupun psikis terhadap anak bisa kita hindari karena sesuai dengan UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa kita semua, baik Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua bertanggung jawab atas perlindungan anak,” imbuh Warsito.

Tags:

Berita Terkait