Perlu Ubah Strategi Pengamanan untuk Penyelesaian Konflik di Papua
Utama

Perlu Ubah Strategi Pengamanan untuk Penyelesaian Konflik di Papua

Penyelesaian berbagai kasus kekerasan di Papua harus dibarengi dengan koreksi, evaluasi, dan penataan ulang kebijakan serta pendekatan yang digunakan untuk Papua. Pendekatan keamanan yang militeristik harus diubah dengan mengutamakan peran dan fungsi kepolisian untuk melakukan penegakan hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Massa aksi pro demokrasi dan mahasiswa Papua se-Jawa-Bali menggelar demonstrasi di kawasan Gambir, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto Ilustrasi: RES
Massa aksi pro demokrasi dan mahasiswa Papua se-Jawa-Bali menggelar demonstrasi di kawasan Gambir, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto Ilustrasi: RES

Konflik dan kekerasan yang terus terjadi di Papua seolah sulit untuk dihentikan. Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan untuk menyelesaikan persoalan di Papua diperlukan dorongan politik dari Presiden Joko Widodo. “Dorongan politik itu harus serius, konsisten, dan nyata,” kata dia dalam diskusi bertema “Outlook HAM dan Keamanan Papua 2023”, Rabu (11/1/2023).

Gufron mencatat upaya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan di Papua sudah berlangsung sejak lama. Misalnya, di era Presiden B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, sampai saat ini di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. Ada berbagai kebijakan yang digulirkan seperti pembangunan dan otonomi khusus di Papua.

Sayangnya, berbagai kebijakan yang diterbitkan untuk menuntaskan persoalan di Papua tak berbuah hasil sesuai harapan. Konflik dan kekerasan sampai saat ini masih terjadi. Pendekatan keamanan yang milteristik terus digunakan untuk menangani masalah keamanan di Papua. “Ini berkontribusi terhadap buruknya situasi HAM di Papua,” ujar Gufron.

Baca Juga:

Ia menilai kebijakan dan pendekatan yang selama ini dilakukan pemerintah untuk Papua tidak mampu menyelesaikan akar persoalan. Penyelesaian berbagai kasus kekerasan di Papua harus dibarengi dengan koreksi, evaluasi, dan penataan ulang kebijakan serta pendekatan yang digunakan untuk Papua. “Kalau sumber persoalan utama tidak dibenahi, maka kekerasan di Papua terus berulang,” ujarnya.

Menurut Gufron, secara umum kebijakan dan pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah masih mengutamakan pendekatan kekuatan yang militeristik. Bahkan, ada asumsi yang menilai semakin besar pendekatan kekuatan keamanan di Papua, maka tidak akan menyelesaikan masalah dan malah menimbulkan masalah. Penempatan pasuikan TNI dan Polri secara besar di Papua justru berdampak pada persoalan HAM.

Untuk itu, Gufron mendesak pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap pendekatan keamanan di Papua. Hal penting yang harus dikedepankan adalah akuntabilitas dan membangun kepercayaan masyarakat Papua. Peran aparat kepolisian untuk melakukan penegakan hukum harus menjadi pendekatan yang utama. “Harus dilakukan pembenahan secara komprehensif terhadap kebijakan keamanan di Papua,” usulnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, mengatakan perkembangan HAM di Papua tidak ada yang berubah. Begitu juga dengan penanganan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, terutama yang telah dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM seperti peristiwa Wasior dan Wamena.

“Kasus Wasior dan Wamena sampai sekarang tidak ada kemajuan (untuk didorong sampai pengadilan HAM, red),” paparnya.

Mengingat Presiden Joko Widodo telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam berbagai peristiwa termasuk Wasior dan Wamena, Yan berpendapat kedua perkara itu harus dilanjutkan penyelesaiannya. Kendati demikian jangan sampai kedua peristiwa itu bernasib seperti perkara Paniai dimana pengadilan tingkat pertama membebaskan terdakwa.

Menurutnya, hasil penyelidikan Komnas HAM untuk kasus Paniai sudah sangat jelas mengidentifikasi pelakunya dan rantai komando. Tapi sayangnya hasil penyidikan kejaksaan agung hanya menetapkan 1 orang terdakwa untuk kasus Paniai. “Hal ini menurunkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap penyelesaian kasus,” imbuhnya.

Direktur SKPKC Fransiskan Papua, Yuli Langowuyo, mengatakan masyarakat sipil yang paling rentan menjadi korban atas konflik bersenjata yang terjadi di Papua. Ironisnya, aparat keamanan menggunakan kantor pelayanan publik sebagai pos militer. Akibatnya masyarakat sipil rentan menjadi korban ketika kontak senjata terjadi. “Korbannya itu masyarakat sipil, termasuk anak-anak,” tegasnya.

Konflik bersenjata pun memaksa sebagian masyarakat Papua untuk mengungsi. Yuli mengatakan kehidupan para pengungsi sangat memprihatinkan karena mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti hak atas pangan, kesehatan, dan pendidikan. Tercatat sepanjang tahun 2022 sedikitnya terjadi 10 konflik bersenjata antara aparat keamanan dengan kelompok bersenjata. Tak jarang konflik trerjadi di ruang publik.

Ia melhat pendekatan keamanan yang dilakukan selama ini di Papua tidak memberikan rasa aman terhadap seluruh warga Papua. Bahkan ada pandangan di kalangan masyarakat yang menyebut aparat keamanan melindungi warga pendatang, bukan orang asli Papua. “Strategi keamanan harus diubah, sehingga mampu memberikan rasa aman bagi setiap orang di Papua,” pintanya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi memberi pernyataan resmi kepada publik selaku Kepala Negara Republik Indonesia. Dalam pernyataannya itu, Presiden mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat pada berbagai peristiwa. “Saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat,” kata Presiden Jokowi dalam konferensi Pers di Istana Kepresidenan Jakara, Rabu (11/1/2023).

Ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang disebut Presiden Joko Widodo. DUa diantaranya peristiwa Wasior di Papua tahun 2001 dan peristiwa Wamena di Papua 2003. Jokowi menyebut bersimpati dan berempati terhadap korban dan keluarganya. Pemerintah berupaya memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian melalui mekanisme yudisial.

Pemerintah akan berupaya serius agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang. Presiden Jokowi memerintahkan Menkopolhukam untuk mengawal berbagai upaya konkrit pemerintah itu. “Semoga ini menjadi langkah berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam NKRI,” ujar Jokowi.

Tags:

Berita Terkait