Perlunya Pakta Integritas Paslon Taati Protokol Kesehatan
Berita

Perlunya Pakta Integritas Paslon Taati Protokol Kesehatan

Pakta integritas tersebut perlu ditagih terhadap pasangan calon kepala daerah. Berhasil atau tidaknya pencegahan penularan Covid-19 pada tahapan pilkada bergantung pada pasangan calon.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan perlu ada pakta integritas dari pasangan calon (paslon) kepala daerah untuk mentaati protokol kesehatan pada Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan pakta integritas tersebut untuk menunjukkan komitmen pasangan calon terhadap penanganan pandemi Covid-19.

"Jadi nanti pada 23 September kan penetapan pasangan calon, setelah itu pengundian nomor urut, sebelum pengundian itu kan deklarasi damai, nah ketika itu kita harus tagih juga paslon menandatangani pakta integritas," katanya, Selasa (15/9).

Pakta integritas tersebut perlu ditagih terhadap pasangan calon kepala daerah karena berhasil atau tidaknya pencegahan penularan Covid-19 pada tahapan pilkada semuanya bergantung pada pasangan calon.

"Ya kalau mereka bisa mengatur tim sukses, tidak menyebabkan kerumunan, dan mengikuti regulasi yang ada tentunya tidak akan terjadi penularan Covid-19. Oleh karena itu bergantung paslon," ucap Bahtiar.

Bagi masyarakat, menurut dia, komitmen pasangan calon terhadap disiplin protokol kesehatan itu tentunya juga bisa menjadi acuan untuk memilih kepala daerah yang memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi yang bagus. (Baca Juga: Bawaslu Usul Ada Norma Sanksi bagi Paslon Pelanggar Protokol Kesehatan)

"Kalau paslon mengabaikan protokol kesehatan, atau tidak bisa mengatur tim mereka untuk disiplin protokol kesehatan untuk apa dipilih, mengatur diri sendiri dan beberapa orang saja tidak bisa apalagi mengatur daerah," ujarnya.

Bahtiar mengatakan semestinya mencegah penularan Covid-19 menjadi klaster baru pada Pilkada 2020 lebih mudah dibandingkan dengan mengatur kerumunan sosial. Hal itu karena pada penyelenggaraan pilkada seluruh tahapan sudah diatur terstruktur dengan regulasi, baik soal jadwal, tahapan, model, metode maupun disiplin protokol kesehatan.

"Mereka juga dipantau dan diawasi secara ketat oleh sejumlah lembaga yang berwenang. Hal itu berbeda dengan mencegah kerumunan sosial di luar pilkada," katanya.

Sementara, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman, menegaskan saat tahapan masa kampanye, maka pembatasan massa pendukung wajib diberlakukan dan penerapan protokol kesehatan menjadi keharusan baik bagi penyelenggara maupun kontestan.

"Metode kampanye sama dengan yang ada di pilkada sebelumnya. Tetapi pelaksanaannya harus menggunakan protokol kesehatan, jadi misalnya rapat umum ada tapi dibatasi jumlahnya paling banyak 100 orang," kata Arief seperti dilansir Antara.

Selanjutnya, pertemuan terbatas tetap ada dan dibatasi jumlahnya 50 orang, begitupun debat kandidat tetap ada, dengan jumlahnya dibatasi 50 orang. Dan yang paling penting harus menerapkan protokol kesehatan. Jaga jarak, pakai masker, tidak diperbolehkan arak-arakan apalagi melibatkan ribuan orang.

"Kalau ada kandidat melakukan itu, nanti Bawaslu akan mengawasi dan mengambil tindakan. Kampanye berhenti itu pada masa tenang, tiga hari sebelum pencoblosan," kata dia menegaskan.

Saat ditanyakan bila mana ada pendukung mengenakan simbol seperti masker kandidat, kata dia diperbolehkan. Karena, itu telah menjadi bahan kampanye yang sudah diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) seperti kaos, topi dan macam lainnya. Mengenai penundaan pilkada di tengah pandemi Covid-19, kata dia, tetap dilanjutkan.

"Sekarang ditambahkan tiga (bahan kampanye), yaitu masker, face shield atau pelindung wajah dan handsanitizer, dikasih logo silahkan. Tapi, saat pemungutan suara tidak boleh dipakai, kan tidak boleh kampanye. Soal Pilkada ditunda, itu tidak ada," paparnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, data Kementerian Kesehatan mencatat dalam peta zona risiko, ada 309 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada. Dari jumlah tersebut, 45 kabupaten/kota atau 14,56% masuk dalam zona merah (tinggi) yang tersebar pada 14 provinsi yang akan menjalankan pilkada serentak. Untuk itu, Satgas Penanganan Covid-19 meminta pemerintah daerah (Pemda) memperketat aktivitas politik di daerahnya yang melibatkan massa.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan semua pihak yang berpartisipasi dalam Pilkada perlu memperhatikan perkembangan kasus Covid-19 dan penanganannya di seluruh daerah.

“Kita perlu memperhatikan perkembangan kasus Covid-19, dan penanganannya di seluruh daerah yang berpartisipasi dalam pilkada ini,” ujar Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, Kamis (10/9), di Kantor Presiden.

Wiku menegaskan agar para kontestan pilkada selama mengikuti proses dan tahapan pilkada untuk menerapkan Implementasi Protokol Kesehatan dengan Ketat Menuju Pemilihan Serentak Lanjutan yang Aman Covid-19. Ia mengingatkan agar para bakal pasangan calon wajib melakukan tes PCR dan dilarang melakukan kontak fisik selama proses seleksi.

Tags:

Berita Terkait