Pertanggungjawaban Hukum Robot AI Pelaku Tindak Pidana
Kolom

Pertanggungjawaban Hukum Robot AI Pelaku Tindak Pidana

Penerapan strict liability untuk kasus-kasus di masa depan yang mungkin berkaitan dengan robot sosial bisa dipertimbangkan.

Bacaan 4 Menit
Timothée Kencono Malye. Foto: Istimewa
Timothée Kencono Malye. Foto: Istimewa

Tulisan ini membahas tentang robot sosial tanpa operator menggunakan artificial intelligence/AI (kecerdasan buatan) yang secara fisik dapat bertindak secara mandiri. Misalnya robot sosial seperti Ameca yang telah mampu melakukan percakapan dan gerakan fisik. Mereka dapat membahayakan manusia (natuurlijk persoon). Anggap saja sang robot bisa menyebabkan cedera pada seseorang yang kebetulan lewat saat ia menggoyangkan tangannya.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk mengatakan sesuatu yang dinilai ujaran kebencian dari sudut pandang manusia. Oleh karena itu, beban tanggung jawab hukum—baik perdata maupun pidana—harusnya diberikan setiap kali robot ini melanggar hukum. Sebagian kalangan berpendapat bahwa robot itu sendiri yang harus bertanggung jawab apabila terjadi peristiwa hukum pidana maupun perdata.

Ada beberapa macam alur penalaran yang mengarah pada kesimpulan tadi. Salah satunya dari perspektif antropologi bahwa manusia dapat memproyeksikan persepsi sosialnya ke robot. Persepsi tersebut meliputi antara lain jenis kelamin, kelas sosial, atau ras. Selain itu, robot sosial adalah artefak yang dapat menimbulkan dinamika psikososial tertentu dengan manusia. Itulah sebabnya sebagian kalangan menilai robot sosial berbasis AI sampai batas tertentu dapat diperlakukan sebagai manusia. Termasuk pula mereka bisa dibebankan tanggung jawab atas peristiwa hukum. Di sisi lain, beberapa orang seperti Danaher menyebut gagasan ini adalah gagasan yang aneh.

Baca juga:

Penulis berada di posisi yang serupa dengan orang-orang seperti Danaher. Perlu diingat bahwa kesadaran—sebagai efek samping dari entropi—tidak dapat dibuat menggunakan bahan nonbiologis. Meski robot sosial mampu mengucapkan untaian kata yang menyerupai ekspresi hati manusia, sebenarnya tidak lebih dari sebuah produk yang sangat interaktif.

Tujuan mendasar dari hukum adalah memulihkan jika terjadi gangguan terhadap harmoni dalam masyarakat. Contoh gangguan tersebut adalah tindakan kekerasan, seperti seseorang yang meninju wajah orang lain. Robot sosial juga dapat melakukan tindakan seperti meninju. Masalahnya mereka hanyalah produk kebendaan tanpa kesadaran untuk mampu merasakan sakit. Hal ini membuat penegakan hukum terhadap produk tersebut menjadi tidak relevan.

Perlu diingat, hukum dapat digunakan sebagai alat untuk keadilan retributif dan restoratif. Dari perspektif keadilan retributif, membebankan pertanggungjawaban pidana atau perdata kepada robot sosial menjadi tidak efektif. Alasannya karena robot sosial ini tidak dapat merasakan sakit baik secara fisik maupun psikis. Artinya, tidak ada perubahan perilaku yang bisa diharapkan sebagai dampak hukuman kepada robot sosial.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait