Pesan Humanis dalam Penelusuran Silsilah Seorang Hakim Agung
Resensi:

Pesan Humanis dalam Penelusuran Silsilah Seorang Hakim Agung

Hakim Agung Supandi meluncurkan buku biografi pada ulang tahunnya. Pernah mengalami kegalauan memutus perkara narkotika.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi buku: BAS
Ilustrasi buku: BAS

Peringatan ulang tahun Supandi pada 17 September lalu terasa istimewa. Bukan saja mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari koleganya sesama hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan kehadiran sejumlah tokoh, tetapi juga karena buku biografinya diluncurkan. Sebelum peluncuran berlangsung, Supandi berdialog dengan sejumlah tokoh hukum seperti Rektor Universitas Diponegoro, Yos Yohan Utama, dan Guru Besar Universita Tarumanegara Jakarta sekaligus ahli hukum penerbangan, K. Martono.

Ditulis oleh Irawan Santoso, buku ‘Bocah Kebon dari Deli’, adalah sebuah biografi yang menarik. Isinya tidak melulu memuat perjalanan Supandi sebagai hakim yang besar di lingkungan PTUN. Yang menarik justru penelusuran silsilah Supandi ke leluhurnya di Jawa. Supandi dilahirkan di Tembung, Sumatera Utara, tetapi keluarganya berasal dari pulau Jawa. Dari judul biografinya pun sebenarnya pembaca sudah dengan cepat dapat menegerti Supandi berasal dari tanah Deli, daerah pinggiran Medan yang sejak zaman Belanda dikenal sebagai kawasan perkebunan. (Sekadar contoh, pembaca dapat membaca buku Karl J. Pelzer, “Planter and Peasant: Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatera 1863-1947”).

Sebagai ‘Pujakesuma’ –istilah yang lazim dikenal di Medan sebagai singkatan dari Putra Jawa Kelahiran Sumatera, penelusuran silsilah sangat penting artinya bagi Supandi. Penelusuran itu bukan pekerjaan mudah, apalagi jika komunikasi sudah terputus selama puluhan tahun. Apalagi jika sebagian besar anggota keluarga sudah meninggal dunia. Penelusuran silsilah itu sudah dilakukan Ngadimun dan Ngadinem – orang tua Supandi—sejak 1980, dengan mengunjungi desa Tlutup, Juwana, Pati, Jawa Tengah. Supandi juga membawa sesepuh keluarganya di Medan ke desa Ngipik, Tulungagung, Jawa Tengah. Penelusuran selama bertahun-tahun ini menemukan silsilah penting, yang terhubung dengan Keraton Surakarta. Ki Tirtoleksono, putera seorang temenggung di Keraton Surakarta ikut berjuang bersama Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Ki Tirtoleksono memiliki seorang putera bernama Kyai Ibrahim. Kyai Ibrahim melarikan diri ke tanah Deli karena terlibat pembunuhan seorang mandor Belanda. Di Deli, Kyai Ibrahim berganti nama menjadi Sujak. Kyai Ibrahim adalah kakek kandung Supandi.

Bagi pecinta sejarah, penelusuran silsilah adalah jalan menemukan kembali leluhur, sekaligus menyambung kembali silaturrahim. Dalam penelusuran silsilah, seperti disampaikan Irawan Santoso dalam peluncuran buku ini, ‘ada pesan-pesan humanis’ bagi para pembaca. Selalu ada pemantik bagi pembaca, bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan cita-citanya. Kisah hidup Supandi menggambarkan perjalanan seorang bocah dari kawasan perkebunan Deli, yang mencapai puncak karirnya sebagai hakim agung, dan kini menduduki kursi Ketua Muda Mahkamah agung Urusan Lingkungan PTUN.

Secara akademik, Supandi juga berhasil. Pada 29 November 2019, Supandi dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Hukum Administrasi Negara di Universitas Diponegoro, Semarang. Ia mengikuti keberhasilan sejumlah hakim agung karir lainnya meraih gelar profesor. Supandi meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Sumatera Utara pada 1981. Kala itu, ia sudah bekerja di Kanwil I Ditjen Perhubungan Udara, Medan. Dua tahun setelah lulus SH, Supandi mengikuti seleksi calon hakim dan diterima. Pengadilan Negeri Sabang adalah tempat tugas pertamanya sebagai hakim. Pada 1996, Supandi beralih ke lingkungan PTUN, dan bertugas di PTUN Medan. Di kota ini pula ia terus melanjutkan pendidikan pascarsarjana hingga memperoleh gelar doktor ilmu hukum dari Fakultas Hukum USU tahun 2005.

Hukumonline.com

Perjalanan hidup Supandi sebagai hakim penuh warna. Ia menjalaninya dengan kesungguhan, baik sebagai hakim maupun sebagai ketua pengadilan. Salah satu pengalaman hidup yang berperan dan berpengaruh adalah pengalamannya sebagai anggota pramuka. “Dalam pramuka itu, selain diajarkan setia kawan, tapi kita juga diajarkan untuk bisa mempertahankan diri,” tuturnya (hal. 339). Pengalaman pramuka terasa sekali manfaatnya ketika Supandi diberi amanah memimpin Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Mahkamah Agung (2006).

Perjalanan karir Supandi di lingkungan PTUN salah satu fase kehidupannya yang menarik untuk diikuti. Apa sebenarnya yang membuat Supandi tertarik ‘hijrah’ ke lingkungan PTUN? Siapa yang memotivasinya? Jawaban atas pertanyaan itu justru dikisahkan secara menarik dalam buku ini. Kegundahgulanaanlah yang menyebabkan Supandi pindah ke lingkungan PTUN. Gundah gulana yang muncul setelah mengadili dan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada terdakwa tunggal kasus narkotika di PN Kualasimpang, Aceh. Sejak menyidangkan perkara, Supandi merasa ada sesuatu yang kurang pas: masa untuk ganja 500 kilogram hanya dikendalikan terdakwa tunggal? Setelah mengunjungi terpidana di lapas, barulah Supandi mendapat kepastian atas keraguannya. Benar saja. Terpidana membuat pengakuan bahwa sebenarnya ada terdakwa lain, tapi ia diminta menjadi tumbal.

Tags:

Berita Terkait