Polri Prioritaskan Pendekatan Restorative Justice dalam Penanganan Kasus UU ITE
Utama

Polri Prioritaskan Pendekatan Restorative Justice dalam Penanganan Kasus UU ITE

Diharapkan, SE Kapolri ini mampu menjadi trigger agar pelaksanaan UU ITE memenuhi rasa keadilan. Yang terpenting pelaksanaan aturan ini tidak ada diskriminasi dan equal treatment terhadap siapapun.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Kapolri Jenderal Lisyto Sigit Prabowo. Foto: RES
Kapolri Jenderal Lisyto Sigit Prabowo. Foto: RES

Sejak Presiden Joko Widodo meminta Kepolisian selektif menangani kasus dugaan pelanggaran UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No.19 tahun 2016 (UU ITE), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bergerak cepat dengan menerbitkan surat edaran.  

Melalui Surat Edaran (SE) Kapolri No.SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudukan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, Polri memprioritaskan atau menekankan pendekatan restorative justice (pemulihan keadilan), penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui proses mediasi, dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran UU ITE.  

Kebijakan Kapolri Jenderal Lisyto Sigit Prabowo dalam SE tersebut merupakan tindak lanjut perkembangan situasi dan dinamika masyarakat terhadap implementasi UU ITE. Sebab, penerapan UU ITE dinilai banyak kalangan kontradiktif dengan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui ruang digital yang menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat.

“Diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” demikian bunyi poin 2 SE Kapolri No.SE/2/11/2021 tertanggal 19 Februari 2021 ini. (Baca Juga: Guru Besar Ini Jelaskan Konsep Keadilan Restoratif dalam RKUHP)

Dalam menegakan hukum yang berkeadilan itu, Kapolri meminta jajaran di bawah agar terus mengedepankan upaya edukasi dan persuasif untuk menghindari dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan demi menjaga ruang digital Indonesia menjadi lebih bersih, sehat, beretika, dan produktif. Untuk itu, ada beberapa hal yang penting dipedomani:

Pertama, setiap penyidik mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus mengalami perkembangan dengan berbagai macam persoalannya. Kedua, memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat. Ketiga, mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

Keempat, dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat membedakan dengan tegas antara kritik, masukan, hoaks dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana. Setelah itu, penyidik dapat menentukan langkah yang bakal diambilnya. Kelima, sejak penerinaan laporan, penyidik harus berkomunikasi dengan para pihak, khususnya pihak korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi dengan memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melakukan mediasi.

Keenam, penyidik melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan unsur Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)/Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) dapat melalui zoom meeting dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.

Ketujuh, penyidik berprinsip hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum atau ultimum remidium dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Kedelapan, terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice.

“Kecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme,” ujarnya.

Kesembilan, terhadap korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, maka tidak dilakukan penahanan. Sebelum berkas diajukan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.

Kesepuluh, penyidik agar berkoordinasi dengan pihak JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberi saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan. Kesebelas, agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil. Kemudian memberi reward dan punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan. “SE ini untuk disampaikan untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri.”

Apresiasi

Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad mengapresiasi terbitnya Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Suparji menilai tindakan ini bentuk respon atas pernyataan presiden terkait UU ITE.  "Saya pribadi mengapresiasi Kapolri yang mengeluarkan SE tersebut. Ini menunjukkan Jenderal Listyo merespon cepat pernyataan presiden terkait UU ITE," kata Suparji dalam keterangannya, Selasa (23/2/2021).

Menurutnya, SE tersebut diharapkan mampu menjadi trigger agar pelaksanaan UU ITE memenuhi rasa berkeadilan. Menurutnya, yang terpenting dalam pelaksanaan aturan adalah tidak ada diskriminasi dan equal treatment. "Maka, karena masih ada beberapa laporan terkait UU ITE, misalnya terkait ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, agar tidak muncul spekulasi diskriminasi, laporan tersebut hendaknya ditindaklanjuti sesuai UU dan konsep presisi," ucapnya.

Selain itu, ia mengusulkan agar formulasi penyelesaian kerugian yang diderita pelapor diarahkan pada pemulihan harkat dan martabat secara baik dan benar. Secara umum, kata Suparji, isi SE tersebut bagus. Misalnya soal imbauan bahwa penyidik harus bisa membedakan antara kritik, masukan, hoaks dan pencemaran nama baik.  "Meski demikian, surat edaran pada dasarnya sebagai pedoman untuk melaksanakan suatu kebijakan tetap bukan suatu peraturan," katanya.

Koordinator Penggerak Millenial Indonesia (PMI) Adhia Muzakki merespon positif kebijakan SE Kapolri No.SE/2/11/2021 ini. Baginya langkah Kapolri mewujudukan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif amat dibutuhkan. Terlebih, banyaknya ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang masif di media sosial

“Kita dukung langkah Kapolri dalam menindak secara damai laporan-laporan yang masuk terkait dugaan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang semain masif di media sosial,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Antara.

Menurutnya, kebijakan Kapolri tersebut mesti diimbangi dengan usaha kalangan milenial dan seluruh komponen bangsa untuk menggunakan media sosial secara bijak. Antara lain dengan menyebarkan narasi-narasi positif dan konten kreatif. Dia berharap Polri menjadikan kalangan milenial sebagai episentrum menjaga dan merawat kebhinekaan di media sosial.

Adhia mencatat, pengguna media sosial di Indonesia pada 2020 didominasi kalangan usia antara 25-34 tahun. Rinciannya, pengguna laki-laki sebanyak 20,6 persen dan perempuan 14,8 persen. Selanjutnya pengguna berusia 18-24 tahun yang rinciannya pengguna laki-laki 16,1 persen dan perempuan 14,2 persen. “Media sosial itu dunianya milenial, jadi yang harus jaga gawang ada di kelompok milenial,” katanya.

Tags:

Berita Terkait