PP Jaminan Produk Halal Masuk Tahap Finalisasi
Berita

PP Jaminan Produk Halal Masuk Tahap Finalisasi

Tinggal tahap finalisasi. BPJPH akan segera bekerja pada 2018 setelah terbitnya PP JPH yang merupakan payung hukum kinerja dari badan tersebut.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Produk Halal sebagai turunan UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, segera terbit. "PP sebentar lagi akan ditandatangani Presiden. Tinggal finalisasi," katanya seperti dilansir Antara, di Jakarta, Selasa (30/1).

 

Pada 11 Oktober 2017, pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Peresmian dilakukan oleh Menag Lukman. Sejak peresmian, BPJPH secara bertahap merintis perangkat kelembagaan, infrastruktur, regulasi, prosedur kerja layanan sertifikasi, sistem pengawasan serta pengembangan kerja sama domestik dan global. BPJPH akan segera bekerja pada 2018 setelah terbitnya PP tentang Jaminan Produk Halal yang akan menjadi payung hukum kinerja dari badan tersebut.

 

Lukman mengatakan BPJPH sebagai lembaga baru akan berupaya melakukan sosialisasi. Ranah badan sertifikasi halal negara itu mencakupi status kehalalan banyak produk, baik itu makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, pakaian dan barang gunaan lainnya.

 

BPJPH dalam proses penerbitan sertifikat halal terhadap suatu produk akan bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sesuai amanat UU No. 33 Tahun 2014. Lewat UU itu, BPJPH mendapat mandat untuk menerbitan sertifikat halal produk.

 

Kewenangan tersebut selama ini berada di MUI. Dengan aturan baru, MUI dipangkas kewenangannya sehingga menyisakan tiga kewenangan yaitu mengeluarkan fatwa kehalalan suatu produk, melakukan sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal dan auditor-auditor yang bergerak dalam industri halal harus dapat persetujuan MUI.

 

Dengan UU JPH, kini pemerintah dapat menindak secara hukum para pelaku usaha yang berupaya melakukan kecurangan terhadap produknya. Regulasi itu bertujuan untuk melindungi masyaratakat, terutama umat Islam, dari paparan produk nonhalal.

 

Proses Sertifikasi Halal Kepala BPJPH, Sukoso, mengatakan terdapat tahapan agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal. Menurutnya, pemohon sertifikat halal dapat mengajukan permohonan sertifikat halal lewat BPJPH. Selanjutnya, pelaku usaha diperkenanankan memilih LPH sebagai penguji produk. Kemudian, produk itu ditetapkan status kehalalannya oleh MUI melalui Sidang Fatwa Halal.

 

(Baca Juga: Pahami 5 Hal Berikut Agar Pelaku Usaha Tak Langgar UU Jaminan Produk Halal)

 

Apabila suatu produk ditetapkan halal oleh MUI maka BPJPH akan menerbitkan sertifikasi terhadap produk tersebut. Jika tidak mendapatkan sertifikat BPJPH mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha disertai dengan alasan.

 

Sebelumnya, Lembaga Indonesia Halal Watch mengkritisi ketiadaan LPH. Padahal UU Jaminan Produk Halal mewajibkan keberadaannya sehingga bisa mensertifikasi produk halal sebelum tenggat akhirnya di penghujung 2019. "Artinya, semua produk tanpa sertifikat halal tidak boleh beredar setelah 2019. Tapi sampai saat ini belum ada LPH," kata Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal, Ikhsan Abdullah.

 

Dia mengatakan LPH merupakan salah satu unsur penting yang dalam proses penerbitan sertifikat halal dari produk-produk yang beredar di tengah masyarakat. Selain itu, terdapat regulator JPH yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dan unsur pemberi akreditasi LPH dari MUI.

 

Menurut dia, belum lengkapnya unsur-unsur yang mengurusi JPH membuat penerbitan sertifikasi halal akan semakin lama. Alasannya, penerbitan sertifikat halal itu memakan waktu yang cukup lama. Jika sampai saat ini belum ada LPH maka proses penerbitan sertifikat halal akan semakin terkatung-katung.

 

(Baca Juga: Hati-hati!! Mulai 2019 Produsen Bisa Terjerat Pidana Karena Masalah Sertifikat Halal Produk)

 

Persoalan berikutnya, kata Ikhsan, BPJPH sebagai regulator belum dapat menerbitkan tarif sertifikasi produk halal. BPJPH adalah lembaga di bawah kementerian bukan Badan Layanan Umum (BLU) yang dapat menentukan tarif. Penentuan tarif hanya dapat ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan terbit.

 

Soal kesiapan infrastruktur sertifikasi halal daring/online, Ikhsan mengatakan BPJPH belum kunjung memiliki sistem teknologi informasi yang memadai. Dengan begitu, jika belum ada fasilitas itu akan membuat industri di daerah kesulitan mendaftarkan sertifikasi halal terhadap produknya.

 

"Untuk memudahkan sertifikasi harus dilakukan sistem seperti yang dilakukan LPPOM MUI sehingga orang di daerah bisa lebih mudah kecuali ada verifikasi yang penting. Saat ini, sistem yang dilakukan BPJPH belum ada, sistem yang menjamin kemudahan bagi pemohon sertifikasi halal. Entah sampai kapan dirumuskan," kata dia.

 

Lebih jauh, Indonesia Halal Watch menyayangkan lamanya proses harmonisasi UU JPH di ranah pemerintah sehingga khawatir tidak terpenuhinya target akhir 2019 semua produk tersertifikasi halal. "Kegundahan Halal Watch ini terkait Peraturan Pemerintah (PP) masih dalam proses harmonisasi," kata Ikhsan.

 

Menurut dia, tersendatnya proses harmonisasi itu karena PP soal produk halal itu masih dalam proses tarik menarik kepentingan. Bahkan Menteri Kesehatan ingin agar produk kesehatan seperti vaksin dan obat-obatan agar dikeluarkan bukan menjadi bagian dari UU JPH atau dikecualikan.

 

Dia mengatakan persoalan tersebut menjadi persoalan tersendiri sebab merujuk UU JPH, menyebutkan semua produk yang beredar di masyarakat harus bersertifikasi halal baik makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, rekayasa teknologi dan barang gunaan.

 

Jika hal tersebut dikecualikan, kata dia, seharusnya UU JPH harus diamputasi. Dengan kata lain, UU JPH belum jalan saja sudah dijegal. Atas fakta itu, Ikhsan meminta pemerintah segera merancang garis waktu yang terukur agar harmonisasi UU JPH itu segera terlaksana.

 

"Kami juga sudah menyampaikan, agar dibuat 'timeline' jangan justru mengganggu. Artinya di kalangan pemerintah sendiri tidak sinkron dan hal ini yang menjadi problem," kata dia. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait