PP Listrik Swasta Diajukan Uji Materiil
Berita

PP Listrik Swasta Diajukan Uji Materiil

‘Dalam PP ini keterlibatan swasta berpotensi mengesampingkan kepentingan umum.'

Bim
Bacaan 2 Menit
PP Listrik Swasta Diajukan Uji Materiil
Hukumonline

 

Pasal yang dimaksud antara lain adalah Pasal 11 ayat (3) dan (4) PP No 3/2005. Ketentuan pasal tersebut pada intinya membenarkan adanya pihak swasta yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Padahal, menurut Hotma, berdasarkan putusan MK, Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum hanya dapat diberikan kepada BUMN/BUMD.  

 

Selain itu, dengan mengacu pada UU No 15/1985 dan PP No 23/1994, BUMN yang ditunjuk sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK), memiliki wilayah usaha yang tidak dapat dibatasi. Dalam PP ini, secara implisit pemerintah mengakui adanya beberapa pemain dalam usaha ketenagalistrikan. Artinya ada pembatasan wilayah usaha, tukasnya.

 

Terburu-buru

Di mata Hotma, langkah penerbitkan PP No 3/2005 ini sangat terburu-buru. Apalagi ada kecenderungan dari Pemerintah untuk segera memperkenalkan PP ini pada saat Infrastructure Summit, yang berlangsung pada 17-18 Januari lalu. PP ini ditandatangani tanggal 16 Januari, pada Hari Minggu, cetusnya.

 

Dia berpendapat, sektor regulasi bukanlah satu-satunya pertimbangan pihak asing untuk berinvestasi di Indonesia. UU No 20/2002 dibuat untuk mendapatkan investor asing. Tapi ternyata, dari tahun 2002 sampai 2004 akhir, tidak ada investor asing yang mau menanamkan modalnya. Begitu juga sejak penerbitan PP itu, paparnya.

 

Berdasarkan putusan MK pola kemitraan yang dimungkinkan bagi swasta untuk berinvestasi di sektor tenaga listrik, dapat melalui pemilikan saham. Namun, pemegang saham mayoritas, tetap harus pemerintah. 

Baru berumur enam bulan, PP No 3/2005 yang merupakan perubahan atas PP No 10/1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, kini dimohonkan uji materiil) ke Mahkamah Agung, Kamis (14/7). Permohonan ini diajukan oleh Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia (APHI). 

 

Menurut Hotma Timbul, kuasa hukum APHI, substansi dari PP tersebut, tidak berbeda dengan UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga, UU No 15/1985 kembali diberlakukan. Perlu disampaikan bahwa APHI pula yang mengajukan judicial review UU No 20/2002 ke MK.

 

Hotma memandang penerbitan PP ini sebagai langkah penyelundupan hukum. Pasalnya, aturan tentang keterlibatan swasta dalam PP ini dinilai masih cukup dominan. Dia khawatir, listrik yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum, malah dijadikan komoditas bisnis jika PP ini diterapkan.

 

Rasio dari PP ini bukan untuk mengisi kekosongan hukum, tetapi memberlakukan kembali UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan baju yang lain, tandasnya saat ditemui usai mendaftarkan permohonan.

 

Dalam permohonan uji materiil tersebut, setidaknya ada delapan pasal yang dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan juga Putusan MK yang membatalkan UU No 20/2002 pada 15 Desember tahun lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: