Prinsip-Prinsip Ini Wajib Diterapkan dalam Industri Fintech
Berita

Prinsip-Prinsip Ini Wajib Diterapkan dalam Industri Fintech

Perkembangan industri fintech di Indonesia belum memiliki regulasi yang mampu mengimbangi inovasi terknologi dan perlindungan konsumen.

CR-26
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi bertajuk “Fintech dalam Payung Hukum: Antara Regulasi dan Perkembangan Teknologi” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (23/4). Foto: RES
Acara diskusi bertajuk “Fintech dalam Payung Hukum: Antara Regulasi dan Perkembangan Teknologi” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (23/4). Foto: RES

Perkembangan industri financial technology (fintech) di Indonesia kerap menjadi perbincangan kalangan pengusaha dalam beberapa tahun terakhir ini. Tak hanya sisi inovasi yang menawarkan keefektifan berbisnis, tapi juga persoalan aspek hukum dalam perlindungan konsumen juga menjadi bagian penting yang harus diatur sedemikian rupa agar tidak merugikan masyarakat sebagai konsumen.

 

Karenanya, mencari titik keseimbangan antara inovasi dan perlindungan konsumen tersebut masih menjadi persoalan. Regulator selama ini masih kesulitan mengeluarkan peraturan yang mampu menjaga keseimbangan keduanya. Hal tersebut disampaikan Kepala Grup Teknologi Finansial, Kerjasama dan Komunikasi Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), Erwin Haryono saat menyampaikan paparannya dalam acara diskusi bertajuk “Fintech dalam Payung Hukum: Antara Regulasi dan Perkembangan Teknologi” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (23/4/2018).

 

“Ini (fintech) sebuah inovasi yang luar biasa, tapi ada challenges. Ada kesulitan bagaimana menjaga keseimbangan antara manfaat dari industri ini dan mencegah risiko yang besar. Ke depan, mungkin ada new risk ekonomi yang luar biasa dari area ini (fintech),” kata Erwin. Baca Juga: Mengenal Mekanisme Regulatory Sandbox pada Industri Fintech

 

Saat ini, terdapat beberapa layanan sistem pembayaran berbasis teknologi yang masih belum memiliki aturan main dari regulator. Salah satu contohnya yaitu sistem pembayaran kode QR (Quick Response) yang dibuat standardisasinya dan akan diterbitkan BI pada akhir April 2018.  

 

Dalam ketentuan tersebut, BI menekankan terdapat empat poin yang harus dipenuhi dalam penerapan kode QR yaitu interoperabilitas, interkonektivitas, sistem keamanan dan inklusi. Dengan konsep interoperabilitas dan interkonektivitas BI akan membuat standardisasi kode QR yang diharapkan penerapannya lebih efisien.

 

Nantinya, pelaku usaha atau merchant tidak perlu menyediakan berbagai jenis kode QR. Konsumen atau nasabah juga lebih mudah menggunakan sistem pembayaran tersebut karena tidak harus mengunduh berbagai aplikasi perusahaan jasa sistem pembayaran.

 

Melalui pengaturan tersebut, para perusahaan penyelenggara kode QR wajib mengikuti standar layanan yang ditetapkan BI. Saat ini, BI telah mengeluarkan izin penggunaan kode QR pada beberapa penyelenggara seperti PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dengan layanan “Yap!”, Telkomsel dengan layanan “T-Cash” dan PT Dompet Anak Bangsa atau Go-Pay.

 

Selain itu, BI saat ini masih mengkaji tentang mata uang virtual atau cryptocurrency seperti Bitcoin. Meski melarang penggunaannya, BI menilai penggunaan mata uang virtual memiliki potensi ekonomi yang besar. Sehingga, BI berencana menerbitkan Rupiah virtual yang baru akan diputuskan pada 2020 mendatang.

 

Erwin menyampaikan terdapat beberapa prinsip yang wajib dipenuhi perusahaan fintech dalam beroperasi di Indonesia. Perusahaan fintech harus menerapkan prinsip perlindungan konsumen dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Selain itu, perusahaan juga harus menjaga kerahasiaan data konsumen, dan menerapkan prinsip kehati-hatian.

 

BI juga mewajibkan kepada seluruh perusahaan fintech menggunakan mata uang Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah NKRI. Kemudian, perusahaan fintech juga harus menerapkan prinsip anti pencucian uang, dan pencegahaan pendanaan terorismen (APU dan PPT). Selain itu, perusahaan fintech juga wajib memenuhi ketentuan perundan-undangan lainnya.

 

Sementara itu, Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hendrikus Passagi menyampaikan cara pengaturan industri fintech tidak sama dibandingkan industri jasa keuangan konvensional. Hal tersebut terjadi karena dinamika inovasi yang terjadi pada fintech lebih mudah berubah-ubah.

 

Dalam mengatur fintech, Hendrikus mengatakan OJK lebih berperan sebagai tempat konsultasi dibandingkan regulator. Peran tersebut terlihat dalam kebijakan regulatory sandbox atau ruang uji coba perusahaan fintech sebelum beroperasi penuh memberi layanan jasa keuangan kepada masyarakat.

 

Melalui regulatory sandbox, regulator yaitu BI dan OJK duduk bersama dengan perusahaan fintech untuk mengetahui kondisi internal seperti profil manajemen dan reputasi pengurus, kebaruan dan manfaat produk, pendanaan serta konsultan hukum. Selain itu, regulator menilai sisi eksternal perusahaan, seperti persaingan usaha dan perlindungan konsumen, informasi, edukasi, dan penyelesaian sengketa konsumen.

 

Kemudian, regulator juga dapat mengetahui kondisi manajemen dan produk yang ditawarkan perusahaan fintech. Setelah melakukan berbagai tahapan penilaian, regulator berwenang memberi pernyataan kelayakan dari perusahaan tersebut.

 

Menurut Hendrikus, skema regulatory sandbox meski memberi keleluasaan pada perusahaan fintech untuk berinovasi. Namun sisi lain, terdapat kelemahan dalam aspek perlindungan konsumen. “Regulatory sandbox ini agak bahaya karena spiritnya adalah memperlonggar,” kata Hendrikus.

 

Namun, dia menilai kebijakan tersebut merupakan cara yang paling tepat saat ini bagi regulator mengawasi industri fintech. OJK juga berencana mengeluarkan aturan baru berupa POJK yang mengatur secara umum mengenai fintech ini. “Dalam waktu dekat kami akan terbitkan aturannya,” kata Hendrikus.

 

Secara tren, perkembangan fintech di Indonesia saat ini menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Data statistik BI mencatat total transaksi fintech di Indonesia pada 2017 mencapai US$ 15,02 miliar atau Rp 202,77 triliun. Jumlah tersebut meningkat 24,6 persen dibandingkan pada 2016. Sementara itu, BI juga mencatat pelaku usaha industri tersebut meningkat dari 140 perusahaan pada 2017 menjadi 188 perusahaan.

Tags: