Pembaruan Pelindungan Hukum dan Problematika Pembuktian dalam UU TPKS
Kolom

Pembaruan Pelindungan Hukum dan Problematika Pembuktian dalam UU TPKS

Problematika ini berlaku bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi hakim dalam mewujudkan putusan yang memenuhi keadilan hukum, keadilan moral dan keadilan sosial.

Bacaan 7 Menit

Hal ini menimbulkan problema tersendiri antara hukum sosial/hukum agama di Indonesia yang menentang adanya penyimpangan seksual dan hukum yang mengatur tentang pelindungan kekerasan seksual nonfisik. Praktik putusan peradilan akan menjawab persoalan ini dengan mengejawantahkan keadilan hukum (legal justice) berdasarkan kaidah hukum dan keadilan moral (moral justice) sehingga pada akhirnya nanti mampu mewujudkan keadilan sosial (social justice).

Unsur relasi kuasa dalam ketentuan Pasal 5 maupun pasal-pasal pidana lainnya dalam UU TPKS tidak secara khusus dimuat, melainkan diatur tersendiri sebagai pemberatan tindak pidana. Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.

Relasi kuasa dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) di antaranya dilakukan dalam lingkup keluarga, dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan, dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga, dilakukan oleh pejabat publik, pemberi kerja, atasan, atau pengurus terhadap orang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya.

Adapun sanksi pidana dalam ketentuan Pasal 5 UU TPKS, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta. Itu artinya sanksi pidana dapat bersifat kumulatif menggunakan pidana penjara dan denda dalam satu amar putusan, dan dapat pula alternatif dengan memilih salah satunya. Hal ini berkaitan dengan modernisasi penghukuman yang memfokuskan ancaman pidana denda dibandingkan pidana penjara.

Penutup

UU TPKS memiliki dimensi pembaruan pelindungan hukum dan beban pembuktian dalam hal terjadinya kekerasan seksual. Namun pemenuhan unsur yang terdapat pada pasal pemidanaan serta sebagian pembuktian yang subjektif menjadi problematika tersendiri bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi hakim dalam mewujudkan putusan yang memenuhi keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice).

*)Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H., Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait