Pembaruan Pelindungan Hukum dan Problematika Pembuktian dalam UU TPKS
Kolom

Pembaruan Pelindungan Hukum dan Problematika Pembuktian dalam UU TPKS

Problematika ini berlaku bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi hakim dalam mewujudkan putusan yang memenuhi keadilan hukum, keadilan moral dan keadilan sosial.

Bacaan 7 Menit

UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Dalam naskah akademik maupun judul Rancangan Undang-Undang (RUU) sebelumnya, aturan ini disebut Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) namun saat ini disahkan menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Judul PKS identik dengan judul UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang merupakan produk perundang-undangan administrasi yang memiliki sanksi pidana, karenanya produk legislasi yang demikian seringkali disebut sebagai Administrative Penal Law, sebagai Hukum Pidana bersifat Khusus Ekstra perundang-undangan pidana. Sedangkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan Hukum Pidana bersifat Khusus Intra perundang-undangan pidana, seperti halnya Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Terorisme dan lain sebagainya.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU TPKS diatur bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Pengertian TPKS berbeda dengan pengertian kekerasan seksual dalam RUU PKS yang memuat secara rinci sejumlah unsur dalam beberapa bagian yakni jenis perbuatan, objek perbuatan, keadaan korban, dan dampak perbuatan. Secara lengkapnya, dalam RUU PKS “kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”

Pengertian kekerasan seksual dalam RUU PKS memiliki kelemahan dibandingkan pengertian tindak pidana kekerasan seksual dalam UU TPKS. Hal ini karena bagian-bagian yang dimuat secara terperinci berpengaruh terhadap dua beban pembuktian yakni pembuktian terhadap unsur pada pasal yang didakwakan dan pembuktian terhadap unsur kekerasan seksual dalam definisi yang justru berpotensi menimbulkan tafsir beragam. Misalnya dalam rumusan pasal pidana melakukan kekerasan seksual tidak memuat dampak yang ditimbulkan terhadap korban namun pada definisi kekerasan seksual RUU PKS memuat dampak yang ditimbulkan. Atas dasar itu, definisi kekerasan seksual dalam UU TPKS telah memenuhi asas rumusan yang jelas.

Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU TPKS diatur bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Pelecehan seksual nonfisik merupakan istilah baru yang dimunculkan dalam UU TPKS. Sedangkan dalam UU PKDRT digunakan istilah kekerasan psikis, yang secara prinsip lebih berat beban pembuktiannya karena harus membuktikan akibat dari kekerasan psikis, misalnya menimbulkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Pelecehan seksual nonfisik diatur dalam ketentuan Pasal 5 UU TPKS yakni “setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait