Problematika Pemulihan Korban Korupsi
Kolom

Problematika Pemulihan Korban Korupsi

Dalam suatu penanganan perkara, pemulihan korban seringkali tidak dijadikan tujuan dilakukannya proses hukum.

Bacaan 5 Menit
Kurnia Ramadhana. Sumber: Istimewa
Kurnia Ramadhana. Sumber: Istimewa

Meminjam pendapat Arif Gosita, korban diartikan sebagai pihak yang menderita jasmani dan rohani sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Definisi itu rasanya relevan dengan kondisi korban korupsi bantuan sosial pandemi CoronaVirusDisease 19 (Covid 19) beberapa waktu lalu.

Betapa tidak, di tengah himpitan ekonomi dan gangguan kesehatan masyarakat, mereka harus turut merasakan dampak korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara, dan kroni-kroninya. Mulai dari kualitas bansos yang buruk, kuantitasnya kurang, hingga tidak pernah mendapatkan bantuan pemerintah tersebut.

Beban penderitaan para korban bansos pun bertambah tatkala Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak melanjutkan permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pertengahan Juli lalu. Saat itu, 18 korban korupsi bansos mengajukan perlawanan terhadap Juliari atas praktik lancung yang telah dibuatnya dengan menggunakan mekanisme Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Alih-alih diperiksa, majelis hakim justru mengeluarkan penetapan yang substansinya bisa dikatakan absurd. Dalam butir pertimbangan Penetapan Nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN Jkt Pst disebutkan bahwa majelis hakim dengan mendasarkan pada kewenangan relatif berpandangan permohonan para korban bansos lebih tepat diajukan sesuai dengan domisili Tergugat, Juliari, yakni di PN Jakarta Selatan. Dari penetapan ini bisa disimpulkan bahwa pemulihan hak korban belum diprioritaskan dalam suatu proses penegakan hukum.

Baca:

Sebelum masuk lebih lanjut soal konstruksi argumen untuk membantah penetapan Pengadilan Tipikor Jakarta, penting untuk terlebih dahulu mendudukkan dan merelasikan korban dan korupsi. Salah satu ciri korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dikarenakan dampak viktimisasinya sangat luas. Sebab, selain merugikan keuangan negara, dampak korupsi juga menyasar individu atau kelompok masyarakat secara langsung. Misalnya, korupsi pengadaan KTP-Elektronik yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Perkara itu menelan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun sekaligus mengganggu administrasi kependudukan. Atas kejadian tersebut masyarakat menjadi sangat sulit mendapatkan kartu identitas berbasis elektronik. Begitu pula korupsi bansos, sekalipun pasal yang disangkakan KPK kepada para pelaku adalah suap-menyuap, tidak mengartikan dampak kerugian masyarakat hilang.

Sayangnya, Undang-Undang Tipikor tidak mengatur lebih lanjut soal pemulihan korban korupsi. Bahkan, hal mendasarnya, ada kesan regulasi itu hanya mengartikan kerugian korupsi terbatas pada perekonomian negara semata. Sebagai contoh, konsiderans UU Tipikor menyebutkan bahwa “akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.”

Dari sini saja terlihat, saat menyusun regulasi, baik pemerintah maupun DPR, tidak memikirkan dampak korupsi yang dirasakan oleh masyarakat. Kelirunya lagi, masyarakat hanya dimaknai sebagai pihak yang diharapkan dukungannya untuk mencegah dan memberantas korupsi sebagaimana dituangkan dalam Bab V (Pasal 41 dan Pasal 42) UU Tipikor tentang “Peran Serta Masyarakat.”

Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UnitedNationConventionAgainstCorruption, UNCAC) tahun 2003 di Meksiko sebenarnya sudah memandatkan bagi negara peserta, termasuk Indonesia, untuk segera mengadopsi ketentuan ganti kerugian korban korupsi dalam Pasal 35 UNCAC. Sayangnya, sejak perubahan terakhir tahun 2001, UU Tipikor belum pernah direvisi kembali.

Hingga saat ini, peraturan perundang-undangan di Indonesia masih menggunakan mekanisme klasik berupa gugatan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98 KUHAP), dan restitusi (Pasal 7A UU Perlindungan Saksi dan Korban). Berangkat atas situasi tersebut maka tak salah jika kemudian banyak pihak menyimpulkan bahwa ketentuan hukum di Indonesia masih terpusat pada pelaku kejahatan (retributivejustice). Padahal, pada waktu yang bersamaan, rezim hukum pidana dituntut untuk berpindah ke arah pemulihan korban (restorativejustice).

Tesis yang menyebutkan aparat penegak hukum sebagai representasi korban perlahan-lahan kian luntur. Selain salah kaprah mendefinisikan korban korupsi yang terbatas pada konteks ekonomi semata, penanganan perkaranya pun jarang menghadirkan rasa keadilan.

Merujuk data Indonesia Corruption Watch, rata-rata tuntutan penuntut umum terbilang ringan kepada pelaku korupsi, yakni berkisar 4 tahun 1 bulan penjara. Bukan hanya itu, vonis yang dijatuhkan majelis hakim juga terlihat menegasikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Bisa dibayangkan, dari 1.298 terdakwa yang disidangkan, rata-rata hukumannya hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Maka dari itu, dalam hal ini korban dipastikan mengalami viktimisasi sekunder (secondaryvictimization), sebab, selain harus merasakan dampak kejahatan, mereka juga dihadapkan dengan ketidakadilan karena pelaku yang telah merampas hak dasarnya malah diganjar hukuman ringan.

Dalam suatu penanganan perkara, pemulihan korban seringkali tidak dijadikan tujuan dilakukannya proses hukum. Betapa tidak, pada setiap tingkatan proses hukum, baik penyelidikan, penyidikan, hingga proses persidangan, korban hanya dimaknai sebagai pelapor dan saksi yang keterangannya digunakan untuk memperkuat dalil penegak hukum guna menemukan serta memberi sanksi kepada pelaku.

Sedangkan penderitaan yang dirasakan korban terkesan diabaikan begitu saja, bahkan tidak juga disebut dalam tuntutan atau pertimbangan majelis hakim. Mestinya, seperti yang diucapkan oleh Gustav Radbruc, hukum harus memuat keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, bukan hanya terhadap pelaku, akan tetapi kepada korban itu sendiri.

J.E Sahetapy dalam kajiannya mengenai viktimologi telah merumuskan hak-hak korban yang harus dipenuhi saat penanganan perkara berlangsung. Dari sepuluh hak, setidaknya ada dua yang relevan dengan tulisan ini, yakni hak mendapat pelayanan (bantuan, restitusi, kompensasi) dan hak mendapat kembali hak miliknya. Atas dasar ini kemudian para korban korupsi bansos, sebagaimana dijelaskan pada bagian awal tulisan, menggugat Juliari sebesar Rp16,2 juta. Jumlah itu terlihat kecil jika dibandingkan dengan perolehan Juliari dari praktik korupsinya yang mencapai Rp32 miliar.

Pada dasarnya ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi korban untuk mengajukan gugatan melawan pelaku kejahatan. Pertama, pihak penggugat harus merupakan korban atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Kedua, akibat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, korban menderita dan menimbulkan sejumlah kerugian, baik materiil maupun imateriil. Ketiga, timbul hubungan kausalitas antara kerugian yang dialami oleh korban dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Jika keseluruhan aspek ini dapat dihadirkan oleh korban, maka tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk menolak gugatannya.

Kembali pada persoalan penetapan Pengadilan Tipikor di atas, terutama menyoal penggunaan Pasal 98 KUHAP sebagai alternatif pemulihan korban korupsi. Ada sejumlah poin penting perihal Bab XIII (Pasal 98 - Pasal 101) KUHAP tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian itu.

Pertama, untuk dapat diperiksa oleh majelis hakim, gugatan harus didaftarkan sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan. Bagian ini bisa disebut aspek formil, karena belum masuk pada pembuktian kerugian yang dialami oleh korban. Kedua, jika sudah diperiksa, maka pembuktian korban mengarah pada legalstanding sebagai penggugat, bukti yang diajukan, dan argumentasi logis perihal kausalitas antara kerugian penggugat dengan materi dakwaan. Jadi, jika gugatan korban korupsi bansos ditolak sejak awal di saat tuntutan belum dibacakan, maka wajar jika kemudian banyak pihak mengkritisi penetapan Pengadilan Tipikor itu.

Harus diakui, memang sulit untuk bisa memahami argumentasi hukum dan logika di balik penetapan tersebut. Misalnya, bagaimana mungkin Pasal 98 KUHAP diterapkan di pengadilan yang berbeda dengan persidangan pokok perkara pidananya? bukankah itu merupakan mekanisme gugatan perdata? Selain itu, memindahkan gugatan ke pengadilan yang sesuai dengan domisili terdakwa sudah barang tentu akan memperlambat proses pemulihan korban dan hal tersebut justru bertolak belakang dengan cita-cita pembentukan Pasal 98 KUHAP sendiri. Seharusnya, gugatan itu diterima terlebih dahulu oleh majelis hakim, baru kemudian para korban korupsi bansos diminta membuktikan segala dalil yang telah diajukan.

Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tipikor itu membawa dampak yang tidak sedikit bagi korban korupsi bansos dan masyarakat. Selain mengubur harapan korban yang menginginkan adanya pertanggungjawaban pelaku secara langsung, penetapan itu juga mempersempit kemungkinan korban ke depan untuk berdaya dalam suatu proses hukum.

*)Kurnia Ramadhana, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait