Putusan Banding Pinangki Disebut Kemunduran Pemberantasan Korupsi
Terbaru

Putusan Banding Pinangki Disebut Kemunduran Pemberantasan Korupsi

KY diminta menjalankan peran dan fungsi pengawasannya terhadap kinerja hakim dengan mempertanyakan putusan tersebut.

M. Agus Yozami
Bacaan 3 Menit
Mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Foto: RES
Mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Foto: RES

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari menunjukkan adanya kemunduran dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal ini disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Faisal Santiago.

Menurutnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi seharusnya memahami bahwa pelaku korupsi yang berasal dari kalangan penegak hukum dan pejabat pemerintah perlu mendapat hukuman maksimal agar ada efek jera.

"Ini merupakan suatu kemunduran dalam penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi di Indonesia. (Pelaku, red) harus dihukum setinggi-tingginya agar ada efek jera kepada para penegak hukum atau pejabat di Indonesia," tutur Faisal seperti dikutip Antara mengomentari putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Alasan para pelaku korupsi yang berasal dari kelompok penegak hukum harus diberi hukuman lebih berat, karena mereka mengemban amanah untuk jadi contoh/teladan bagi masyarakat, ujar Santiago, Ketua Program Doktor Hukum Universitas Borobudur.

"Jaksa sebagai penegak hukum diharapkan dapat memberi contoh kepada masyarakat untuk berperilaku baik. Penegak hukum tidak sepantasnya melakukan perbuatan yang dilakukan dia (Pinangki, red)," ucap Santiago. (Baca: Putusan Pengadilan Tinggi DKI Soal Pinangki Dinilai Cederai Rasa Keadilan) 

Ia berpendapat banyak pihak berharap putusan Pinangki di Pengadilan Tinggi dapat lebih berat atau minimal sama dengan yang diputus oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Putusan di PT harusnya paling tidak sama dengan di Tipikor, karena Pinangki adalah seorang jaksa dan penegak hukum," kata Faisal menegaskan.

Oleh karena itu, ia mendorong hakim lainnya di Pengadilan Tinggi agar menjadikan putusan itu sebagai bahan pembelajaran dan koreksi. Tidak hanya itu, ia juga mendorong Komisi Yudisial (KY) menjalankan peran dan fungsi pengawasannya terhadap kinerja hakim. "KY harus mengawasi dan mempertanyakan putusan tersebut," kata Faisal.

Hal senada disampaikan akademisi Fakultas Hukum dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari. Dia mengatakan seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari lebih berat karena berstatus sebagai aparat penegak hukum. "Hakim tidak menilai Pinangki sebagai aparat penegak hukum. Kalau aparat penegak hukum melakukan pidana, itu selalu diperberat karena ketentuan KUHP," kata dia.

Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Unand tersebut melihat ada kejanggalan dari putusan hakim yang tidak memperberat malah meringankan hukuman jaksa Pinangki dengan mempertimbangkan status perempuan.

Menurut Feri, alasan-alasan yang disampaikan hakim tersebut seolah-olah dicari-cari untuk memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi empat tahun. Kemudian, adanya pertimbangan status Pinangki sebagai seorang ibu yang memiliki anak berusia empat tahun dinilai Feri juga tidak linier dengan statusnya sebagai aparat penegak hukum.

Ia mengkhawatirkan jika alasan status sebagai seorang ibu dijadikan pertimbangan maka berpotensi memuluskan kejahatan-kejahatan korupsi di kemudian hari. Oleh sebab itu, yang perlu dilihat dari kasus Pinangki ialah kekuatan atau kewenangan yang dimilikinya yakni sebagai seorang jaksa dan tidak semata-mata hanya karena status perempuan dan seorang ibu. "Karena itu akan menyampingkan nilai penting atau substansial dari perkara ini," ujarnya.

Dari berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ada semacam tren pengadilan menjadi jalan pintas untuk mengurangi masa hukuman koruptor. Sehingga ada semacam nuansa peradilan tidak lagi berpihak kepada pemberantasan korupsi dan membenahi aparat hukum yang menyimpang.

Sementara, Kejaksaan Agung belum mengambil sikap terkait putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas masa hukuman Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi empat tahun.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono, saat dikonfirmasi, Rabu, mengatakan pihaknya akan mengambil upaya hukum setelah mendapatkan salinan putusan dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. "Kami belum dapat laporan dari Kejari Jakpus, baru dapat dari media sosial, salinan putusannya belum terima," kata Ali.

Menurut Ali, pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu laporan putusan banding tersebut bila sudah diterima. Seperti halnya upaya hukum (kasasi) yang dilakukan Jaksa terhadap putusan banding para tersangka korupsi Asuransi Jiwasraya. Kejagung melihat segala kemungkinan-kemungkinan untuk mengambil upaya hukum, seperti melihat dari sisi barang buktinya seperti apa.

"Kami hormati apapun keputusan hakim, tinggi atau rendah itu kewenangan hakim, tapi sikap kami nanti setelah kami membaca dan mempelajari putusan," ujar Ali.

Senada dengan Ali, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso juga mengaku belum menerima salinan putusan banding Pinangki Sirna Malasari dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Oleh sebab itu pihaknya belum menentukan sikap untuk langkah selanjutnya. "JPU harus mempelajari putusannya terlebih dahulu, khususnya pertimbangannya. Setelah itu baru bisa bersikap," kata Riono.

Tags:

Berita Terkait