Quo Vadis Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi dan Perlindungan Konsumen
Kolom

Quo Vadis Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi dan Perlindungan Konsumen

Berkaca dari kasus yang menimpa AJB Bumiputera 1912.

Bacaan 7 Menit
Shalih Mangara Sitompul.  Foto: Istimewa
Shalih Mangara Sitompul. Foto: Istimewa

Mencermati arah penyelesaian tanggung jawab perusahaan dan kajian atas perlindungan konsumen pemegang polis asuransi, merupakan telaah yang menghangat beberapa waktu terakhir. Kondisi demikian semakin runyam ketika perusahaan asuransi tersebut bukan berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki kekayaan terpisah, akan tetapi berbentuk mutual.

Gambaran demikian inilah yang dapat dikaji dari macetnya beberapa polis yang sudah jatuh tempo tetapi gagal bayar pada Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJBB 1912). Dapat dikatakan bahwa gaduhnya unjuk rasa para pemegang polis AJBB 1912 beberapa waktu terakhir, memunculkan suatu tanda tanya yang sangat besar. Pertanyaan demikian semakin membuncah ketika muncul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 32/PUU-XVIII/2020 tanggal 14 Januari 2021, yang memungkasi jalan demutualisasi AJBB 1912 melalui Peraturan Pemerintah.

Pada tataran teoretis demikian, setidaknya muncul dua masalah serius yang sedang menggelayuti AJBB 1912, yaitu masalah lunturnya kepercayaan nasabah (trust) di satu sisi, dan eksistensi sistem kepemilikan bersama (mutual) yang coba terus dipertahankan meski terbukti tertinggal oleh zaman (obsolete). Pada tataran praksis permasalahan demikian semakin gaduh dan menyita perhatian masyarakat ketika pemegang polis AJBB 1912 yang mencapai 3,18 juta nasabah (AJBB, 2019) dengan total kewajiban mencapai Rp30 triliun, secara serentak menuntut penuntasan gagal bayar polis yang selama ini tertunda. Hal demikian dapat dipahami sebagai akibat lunturnya kepercayaan nasabah atas solvabilitas AJBB 1912 yang kian meredup.

Kerugian yang terus membengkak demikian semakin sulit ditemukan solusi penyehatannya karena perusahaan asuransi ini berbentuk mutual, sehingga sulit direstrukturisasi bahkan dengan bantuan pemerintah sekalipun. Inilah problematik kekinian yang potensial besar menimpa 3,3 juta pemegang polis AJBB 1912 di tengah pandemi yang telah memberikan pukulan berat bagi anak bangsa.

Baca juga:

Guna menemukan akar masalah hingga solusi perlindungan konsumen yang diproyeksikan demi menyelamatkan pemegang polis yang demikian besar melalui penyehatan AJBB 1912, perlu diungkap beberapa poin penting berikut. Mulai gambaran analisis ragam solusi yang pernah ditempuh, keunggulan gagasan yang diajukan untuk mengatasi permasalahan AJBB 1912, analisis keterlibatan pihak-pihak terkait dalam mengimplementasikan gagasan yang diajukan, serta langkah-langkah strategis yang ditempuh untuk mengimplementasikan gagasan yang diajukan.

Fokus kajian demikian, bertujuan agar tulisan dimaksud memberikan arah (quo vadis) untuk ditemukannya solusi penyelamatan pemegang polis AJBB 1912 melalui penyehatan AJBB 1912. Harapannya, terdapat manfaat besar yang diproyeksikan tercapai melalui naskah dimaksud yaitu bagi AJBB 1912, ditemukannya skematik langkah strategis yang berasal dari gagasan demutualisasi sebagai penyehatan AJBB 1912. Bagi pemegang polis AJBB 1912, melalui langkah penyehatan yang dilakukan berbasis demutualisasi, seluruh hak pemegang polis dapat ditunaikan secara penuh.

Solusi yang Pernah Ditawarkan

Mengenai permasalahan kekinian AJBB 1912 sebagaimana dijelaskan sebelumnya, berbagai upaya sudah dilakukan oleh AJBB 1912 untuk menyelamatkan perusahaannya. Upaya yang pernah dilakukan antara lain seperti bailout pemerintah, tetapi upaya bailout pemerintah ini tidak bisa diterapkan karena dianggap bertentangan dengan undang-undang.

Upaya yang kedua yaitu backdoorlisting yang merupakan pembelian saham perusahaan Tbk oleh perusahaan non Tbk. Pada konteks demikian, Bumiputera melakukan penjualan Bumiputera 1912 kepada PT Pacific Multi Industri (PMI) yang merupakan anak usaha dari GREN. Sehingga perjanjian utang AJB Bumiputera kepada anak usaha Bumiputera 1912 beralih ke PMI. Setelah itu, GREN mengajukan pernyataan efektif ke OJK untuk melakukan penerbitan saham baru melalui skema right issue dengan target dana perolehan sekitar Rp30 triliun untuk membayar kesepakatan utang itu. Rencananya right issue akan ditinggalkan dulu dan kemungkinan akan dilaksanakan nanti setelah melihat penguatan AJB terlebih dahulu. Maka dari itu upaya ini dinilai kurang efektif dan akhirnya tidak bertahan lama.

Upaya selanjutnya yaitu mengadakan konsorsium antara AJB Bumiputera dengan Erick Thohir. Upaya yang dilakukan Erick Thohir untuk menyelamatkan AJB Bumiputera yaitu dengan cara melakukan penyuntikan dana sebesar Rp2 triliun kepada AJB Bumiputera. Diharapkan dengan suntikan dana tersebut, dapat membantu induk usaha AJB Bumiputera untuk memenuhi kewajibannya membayar klaim yang jatuh tempo pada 2017 lalu. Selain itu, dengan skema suntikan dana tersebut, AJBB 1912 dapat menunda rencana right issue (penjualan saham terbatas) yang akan dilakukan GREN sebesar Rp10,32 triliun.

Gagasan Perlindungan Konsumen Melalui Penyehatan AJBB 1912

Sebagaimana diketahui, AJBB 1912 telah lama berdiri sebagai perusahaan asuransi milik bersama satu satunya di Indonesia yang mengalami sepak terjang panjang selama perusahaan tersebut berdiri. Permasalahan perusahaan AJB Bumiputera semakin lama menjadi semakin kompleks. Pada 1999 program RBC (Risk Based Company) menunjukkan adanya bibit keruntuhan dari AJBB 1912. Masalah semakin memuncak ketika total kewajiban yang harus dibayarkan mencapai Rp29,38 triliun per 2020 (Irvan Rahardjo, 2020).

Selama ini telah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut tetapi solusi yang pernah ditawarkan menemui jalan buntu dikarenakan tidak ada sinkronisasi antara bentuk perusahaan dengan solusi tersebut. Bentuk AJB Bumiputera yang mutual menjadi penghambat untuk merealisasikannya. Demutualisasi diperlukan untuk mengubah bentuk AJB Bumiputera menjadi bentuk PT sehingga penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan penyuntikan dana kepada Bumiputera. Demutualisasi pada intinya merupakan pemisahan antara kepemilikan dan keanggotaan suatu usaha. Struktur kepemilikan AJB Bumiputera yang awalnya berada pada tangan para pemegang polis atau dapat dikatakan milik bersama dengan adanya demutualisasi ini menjadi milik orang perseorangan yang memiliki saham atas perusahaan tersebut.

Dengan adanya demutualisasi maka dapat membuka jalan untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan AJB Bumiputera sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan kewajiban yang tertunda. Pada dasarnya proses demutualisasi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan musyawarah anggota luar biasa dan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019 Tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Namun, dengan dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 32/PUU-XVII/2020 tanggal 14 Januari 2021 yang berimplikasi pada penghapusan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019, proses melalui Peraturan Pemerintah menjadi buntu dan pemerintah tidak dapat campur tangan dalam proses ini.

Oleh karenanya, untuk mengembalikan kejayaan AJBB 1912, langkah demutualisasi hingga pengakuisisian oleh pihak ketiga harus didukung sepenuhnya oleh sumber daya manusia terkait, yakni Dewan Komisaris AJB Bumiputera, OJK, perusahaan pihak ketiga selaku akuisator, para pemegang polis atau yang mewakilkan, dan 5 orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing. Dewan Komisaris AJB Bumiputera berperan dalam penandatanganan kontrak dengan perusahaan pihak ketiga dalam pengakuisisian. OJK berperan sebagai badan yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan perekonomian juga memiliki peran yang besar untuk menjamin terlaksananya demutualisasi hingga pengakuisisian perusahaan. Para pemegang polis atau yang mewakilkan dalam hal ini berperan besar karena keputusan berada di tangannya dalam persetujuan demutualisasi melalui musyawarah anggota luar biasa. Selain itu, 5 orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing misalnya seperti ahli hukum, ahli perusahaan, ahli akuntansi, ahli ekonomi, dan juru bicara ini berperan untuk menyampaikan progres mengenai perkembangan demutualisasi kepada para pemegang polis.

Perlu dipahami bahwa proses demutualisasi memerlukan waktu yang cukup lama dikarenakan sebelum sampai pada tahap demutualisasi terlebih dahulu perlu diadakan Musyawarah Anggota Luar Biasa untuk mengambil keputusan final mengenai penyetujuan demutualisasi ini. Musyawarah Anggota Luar biasa, akan sulit dilakukan karena data pada 2019 terdapat 3,18 juta nasabah. Dengan banyaknya anggota tersebut tidak memungkinkan untuk berkumpul di suatu tempat dan mengadakan pertemuan. Maka dari itu dibutuhkan perwakilan tiap daerah untuk menghadiri Musyawarah Anggota Luar Biasa. Namun, karena dengan adanya pandemi Covid-19 dan dampak ikutannya, maka Musyawarah Anggota Luar biasa bisa dilakukan secara online via whatsapp, google meet, atau zoom. Di dalam musyawarah anggota luar biasa tersebut, diharapkan bisa mencapai kesepakatan untuk mengubah perusahaan berbadan mutual menjadi PT melalui proses demutualisasi. Apabila Musyawarah Anggota telah selesai dilakukan dan kesepakatan antara Komisaris dan nasabah untuk mengubah AJBB Bumiputera menjadi PT maka langkah selanjutnya adalah mencari perusahaan atau investor yang mampu untuk membayar seluruh kewajiban AJB Bumiputera senilai Rp30 triliun. Karena jumlah kewajiban yang sangat besar maka hanya perusahaan tertentu yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Multinational Corporation (MNC).

Walaupun AJB Bumiputera terlilit hutang, AJB Bumiputera sebenarnya memiliki banyak asset seperti kantor cabang yang berjumlah lebih dari 400 di berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu, nasabah yang tersebar di seluruh Indonesia juga merupakan jaringan relasi yang sangat menguntungkan apabila dimanfaatkan dengan tepat oleh perusahaan yang akan membeli AJB Bumiputera. Hal itu dapat menjadi keuntungan tersendiri yang diterima oleh perusahaan pengakuisisi. Dapat diambil contoh perusahaan pengakuisisi ternama antara lain Samsung Electronics, Apple, Google, yang akan diuntungkan dengan asset yang dimiliki oleh AJB Bumiputera secara tidak langsung karena dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan pemasaran. Apabila salah satu dari perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Multinational Corporation (MNC) setuju untuk memberikan penyuntikan dana sebesar Rp30 triliun. Dana tersebut diberikan secara berkala, maka di sinilah peran OJK untuk mengawasi jalannya dana tersebut dan AJB Bumiputera akan menjadi PT sesuai dengan MoU yang dilakukan.

Penutup

Problematika yang dialami oleh AJBB 1912 telah memakan banyak korban tidak terkecuali di dalamnya masyarakat yang kurang beruntung. Berdasarkan hal tersebut demutualisasi AJBB 1912 menjadi sangat penting untuk dilakukan guna mengatasi permasalahan yang ada. Pada kondisi demikian, diharapkan klaim yang seharusnya diterima oleh para pemegang polis dan para nasabah dapat terbayarkan dengan tuntas sebagai bentuk perlindungan konsumen yang memadai. Selain itu demutualisasi ini diharapkan menjadi arah yang dituju (quo vadis) yang mampu membentuk AJBB 1912 menjadi sebuah perusahaan asuransi yang memiliki tata kelola yang lebih baik dan dapat mengikuti perkembangan zaman karena bentuknya yang tidak lagi sebagai perusahaan mutual atau usaha bersama melainkan menjadi PT.

Adapun mengenai teknik implementasi quo vadis penyehatan AJBB 1912 yaitu dimulai dengan Musyawarah Anggota Luar Biasa untuk mengambil kesepakatan mengenai demutualisasi yang kemudian dapat mengubah bentuk AJB Bumiputera menjadi sebuah PT. Selanjutnya untuk melunasi seluruh kewajiban terutang diperlukan pengakuisisian oleh pihak ketiga dengan membayar senilai Rp30 triliun sesuai dengan seluruh kewajiban yang dimiliki AJB Bumiputera. BUMN dan Multinational Corporation (MNC) yang memiliki kapabilitas untuk menanggung seluruh kewajiban dari AJB Bumiputera. Pada tahap pengakuisisian dapat dilakukan secara bertahap dengan terlebih dahulu membayarkan Down Payment (DP) senilai minimal 10 triliun rupiah untuk membayarkan seluruh klaim terutang dari 2018 sampai 2020. Dengan teknik seperti ini proses awal hingga akhir akan memakan waktu yang cukup lama atau dapat diperkirakan sekitar 5 tahun.

Pada kulminasi inilah diproyeksikan perlindungan konsumen dapat diwujudkan melalui pemulihan citra baik perusahaan, mengembalikan kepercayaan nasabah terhadap AJBB 1912. Jumlah nasabah AJBB 1912 yang sangat banyak yang notabene para anggotanya merupakan WNI dapat diartikan bahwa penyelamatan AJBB 1912 selain perlu segera direalisasikan mengingat tidak sedikit pula dana yang dikeluarkan oleh para nasabah. Langkah demikian merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan, sekaligus wujud perlindungan konsumen, khususnya pemegang polis AJBB 1912. Sehingga klaim para nasabah dapat dikembalikan dan hak para pemegang polis dapat terbayarkan. Bagi internal perusahaan, skema yang disusun dapat menjadi batu loncatan untuk kembali berkecimpung sebagai perusahaan asuransi yang memiliki tatanan yang lebih baik dan memiliki payung hukum yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

*)Shalih Mangara Sitompul adalah Wakil Ketua Umum DPN PERADI Bidang PKPA, Sertifikasi dan Kerjasama Universitas.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait