Respons Pegiat Antikorupsi dan Akademisi Soal Pencabutan Ketentuan Remisi
Terbaru

Respons Pegiat Antikorupsi dan Akademisi Soal Pencabutan Ketentuan Remisi

Putusan MA tetap harus dihormati, namun juga perlu dikritisi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit

Dia juga penambahan syarat untuk mendapat remisi bagi napi koruptor sesuai ketentuan PP 99/2021 bukan bentuk diskriminasi. Dia mengatakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan orang-orang berkuasa. Selain itu, tindak pidana korupsi juga memiliki dampak luas sehingga memberi efek domino.

“Misalnya, ada korupsi kepala daerah menerima suap Rp1 miliar tapi suap tersebut digunakan untuk perizinan pelepasan hutan lindung menjadi hutan produksi barangkali nilainya kecil tapi dampaknya sangat besar. Negara bisa kehilangan hutan lindung bahkan bisa banjir, kehilangan paru-paru dunia,” jelasnya.

Peneliti Bung Hatta Anti-Corruption Award, Korneles Materay menyampaikan pengetatan remisi napi koruptor merupakan hal yang perlu dilakukan. Hal ini karena sifat kejahatan korupsi yang bisa lintas negara dan pelakunya dilakukan pejabat publik. Sehingga, dia mendukung korupsi merupakan kategori kejahatan luar biasa. Selain itu, dampak korupsi juga berbahaya bagi masyarakat khususnya bagi daerah-daerah yang tertinggal pembangunannya. Dia mengkhawatirkan dengan kemudahan remisi dapat menghilangkan efek jera.

“Kalau dilihat dari perspektif cost and benefit, koruptor yang korupsi triliunan bisa saja tidak takut karena tidak ada deterrent effect yang diciptakan dalam sistem hukum. Dari sisi cost benefit lebih untung orang lakukan korupsi daripada biaya di rutan karena mudah dapatkan remisinya. Putusan ini jadi berkah luar biasa bagi koruptor. Bukan hanya yang mendekam di jeruji besi tapi berimplikasi pada koruptor yang saat ini sedang susun strategi garong uang rakyat,” jelas Korneles.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan pengetatan remisi merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dengan kondisi Indonesia. Dia menilai terjadi salah kaprah terhadap anggapan PP 99/2012 tidak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice. Dalam konteks korupsi, korban yaitu masyarakat luas bukan koruptor sehingga, penerapan restorative justice keliru.   

“Pendekatan restorative justice itu bukan sekadar memberi win-win solution seperti mediasi atau sekadar orang yang dihukum itu berkurang. Restorative justice pendekatan yang lahir dalam HAM ketika mekanisme peradilan tidak bisa memberi keadilan maksimal bagi korban,” jelas Bivitri.

Dia juga berpendapat korupsi merupakan termasuk kategori kejahatan luar biasa. Hal ini karena korupsi memiliki dampak buruk secara luas kepada masyarakat. Dia juga menolak bahwa PP 99/2012 memberi perlakuan diskriminatif terhadap napi koruptor.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait