Mengawal Revisi UU Cipta Kerja Sejalan Amar Putusan MK
Utama

Mengawal Revisi UU Cipta Kerja Sejalan Amar Putusan MK

Pemahaman masyarakat mengenai amar putusan MK terkait UU Cipta Kerja masih menyisakan pertanyaan publik.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Proses implementasi amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji formil Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi perhatian publik saat ini. Dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika tidak dilakukan perbaikan dalam waktu maksimal 2 tahun sejak putusan tersebut dibacakan.

Pemahaman masyarakat mengenai amar putusan MK tersebut masih menyisakan pertanyaan publik. Timbul beberapa penafsiran terhadap putusan tersebut, seperti pernyataan bahwa putusan MK menciptakan ketidakpastian karena di satu sisi memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, tetapi di sisi lain menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku.

Selain itu, pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyatakan tidak ada satu pasal yang dibatalkan MK, berkonsekuensi pemerintah tetap menjalankan kebijakan strategis dan membentuk peraturan perundang-undangan terkait UU Cipta Kerja. Kemudian, pemahaman kepastian hukum UU Cipta Kerja selama dua tahun supaya tidak menjadi konstitusional bersyarat. (Baca Juga: Mengukur Besar Pengaruh Indeks EoDB Terhadap Reformasi Regulasi Indonesia)

Atas poin-poin tersebut, Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) sebagai salah satu pemohon uji formil mengadakan kegiatan Eksaminasi Publik terhadap Putusan MK Uji Formil UU Cipta Kerja Nomor 107/puu-xviii/2020 jo Putusan MK nomor 91/puu-xviii/2020 pada Rabu (23/2).

“Beberapa waktu yang lalu kami lakukan judicial review gugatan formal dan dapatkan hasil bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Eksaminasi ini kami berharap dapat menjelaskan apa putusan MK sehingga publik tidak bingung,” jelas Deputi Direktur Sawit Watch, Ahmad Surambo selaku bagian dari KEPAL.

Sementara itu, Koordinator KEPAL Loji Nurhadi menyampaikan inisiatif untuk menggugat UU Cipta Kerja karena sangat berdampak terhadap masyarakat luas. Dia menyampaikan secara prinsip dan materi UU Cipta Kerja memiliki berbagai macam kecacatan sehingga merugikan kelompok masyarakat yang hidup di pedesaan.

“Atas dasar melindungi hak-hak konstitusinal rakyat Indonesia, kami bentuk koordinasi bersama atas gugatan UU Cipta Kerja. Alhamdulillah, kita dapatkan putusan dari MK sehingga perlu dianalisis dan lihat bersama apakah putusan tersebut sesuai keinginan rakyat atau sebaliknya yang pemerintah menganggap putusan tersebut tidak bermasalah. Kami akan monitor dan mendorong putusan ini sesuai track yang diinginkan bersama” ungkap Loji.

Dosen Universitas Muslim Indonesia Makassar, Prof Lauddin Marsuni, menyampaikan empat poin yang jadi perhatian terhadap putusan MK atas UU Cipta Kerja tersebut. Keempat poin tersebut yaitu kesesuaian pertimbangan hukum dengan prinsip-prinsip hukum, prosedur hukum acara, kesesuaian amar putusan MK dengan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang Undang, dan rasa keadilan dari putusan MK tersebut.

Dalam uraiannya, Lauddin mempertanyakan hubungan antara pencabutan Peraturan MK 6/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU dengan UU Cipta Kerja. Dengan dicabutnya PMK 6/2005 berubah menjadi PMK 9/2020 kemudian diubah kembali dengan PMK 2/2021. “Pertanyaan yang saya ungkap apakah karena UU 11/2020 tentang Cipta Kerja menjadi sebab PMK 6/2005 dicabut dengan PMK 9/2020 yang kemudian selanjutnya dicabut dengan PMK 2/2021,” ungkap Lauddin.

Sebab, dia menganalisa pencabutan PMK 9/2020 pada Desember 2020 menjadi PMK 2/2021 yang terbit April 2021 atau hanya berkisar rentang waktu 4 bulan. “Itu artinya ada kepentingan mendesak dan luar biasa dalam kacamata politik. Menurut saya kepentingan untuk mengamankan UU 11/2020 dan sekaligus amankan kehendak pemerintah yaitu Presiden dan DPR,” tambah Lauddin.

Lebih lanjut, dia mengatakan dengan PMK 2/2021 maka MK dapat menambah amar selain yang ditentukan terhadap UU atau Peraturan Pengganti UU (Perppu) yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU menurut UUD 1945, dan UU a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketentuan yang dimaksud Lauddin yaitu Pasal 72 Ayat 1 dan 2 mengenai Amar Putusan.

“Putusan MK (terhadap UU CK) merupakan penyelamat sekaligus politis yang diambil penegak hukum,” ungkap Lauddin.

Hukumonline.com

Sehubungan dengan rasa keadilan, Lauddin mengatakan Putusan MK nomor 91/puu-xviii/2020 tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Seharusnya, dia menyampaikan pemaknaan inskonstitusional bersyarat adalah UU 11/2020 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat hingga pemerintah memperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun sejak putusan tersebut dibacakan.

Tags:

Berita Terkait